OM SWASTYASTU,
Dalam
Penulisan dan penyaduran Babad Bendesa Manik Mas ini kami sajikan dalam
bentuk bahasa Indonesia, agar dapat dimengerti oleh generasi
Pratisentana khususnya dan masyarakat luas pada umumnya sehingga dapat
menambah wawasan dan pengetahuan tentang budaya serta pandangan hidup
pada masa lalu.
Rangkuman
cerita ini kami terjemahkan dari banyak babad yang dapat kami kumpulkan
berupa lontar, sumari, terjemahan diantaranya dari bapak Gusti Bagus
Sugriwa, Bapak Gunarsa, Bapak Gede Bendesa, Bapak K Subandi yang mana
beliau adalah tokoh penting yang berperan sehingga sepatutnyalah kita
ucapkan terima kasih kepada tokoh-tokoh tersebut yang sudah berjasa.
Disamping lontar – lontar sebagai sumber, kami juga mengutip dari buku – buku sejarah, seperti Negara Kerta Gama Majapahit, Kediri,
daha dan sejarah lain yang menunjang sebagai sumber data untuk menyusun
tulisan ini, disamping itu pula dari prasasti yang ada kaitannya dengan
peristiwa dimasa lalu tersebut.
Banyak
kesulitan yang dijumpai dalam penyusunan tulisan ini, disebabkan karena
minimnya data – data peninggalan sejarah masa lalu tersebut terutama
yang berada dipura – pura yang masih memiliki bukti – bukti sejarah
karena tidak diperbolehkan dapat dibilang telah dikeramatkan.
Hal
semacam ini merupakan kendala yang dihadapi untuk mengungkap sejarah
dan latar belakang kehidupan pada jaman dahulu kala, oleh karena
kelangkaannya.
Mengingat
babad Bendesa Manik Mas ini sangat menarik dan merupakan awal mula
berdirinya kerajaan bali Majapahit. Maka kami memandang sangat perlu
untuk diungkapkan keberadaannya. Yang mana akan ikut memberi warna
perkembangan sejarah berikutnya.
Demikian
tulisan ini kami buat kepada semua pembaca agar dapat dijadikan sebagai
pengetahuan sejarah – sejarah kuno yang amat langka ini. Untuk lebih
sempurnanya buku ini maka kami harapkan kesediaan bagi yang memiliki
bukti – bukti sejarah dan memiliki pengetahuan tentang Babad ini sudi
kiranya untuk melengkapinya berdasarkan prasasti, sejarah atau lontar
yang sesungguhnya sehingga buku tersebut dapat lebih otentik dan cerita
berdasarkan sejarah sesungguhnya.
Atas segala kesempatan dan perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Semoga Ida Hyang Perama Kawi Selalu Memberkati Kita.
OM SANTI SANTI SANTI OM
PENGANTAR KATA DARI PENULIS
Om Swastyastu,
Puji
syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa penulis ucapkan, karena atas
karunianyalah penulis dapat menyadur cerita dari Babad Bendesa Manik Mas
ini kedalam Tulisan yang baru dan sesuai dengan Tulisan sebelumnya yang
telah diuraikan oleh Sri Bintang Dhanu, sehingga penulis mengulas
kembali dalam bentuk tulisan yang baru tetapi tidak merubah tatanan
aslinya.
Adapun
tulisan ini dibuat untuk lebih mempermudah bagi pembaca dan dapat
disebar luaskan sebagaimana mestinya, agar semua khalayak dapat
menikmati dan membacanya.
Harapan
kami saduran ini dapat berguna bagi semua masyarakat dan dapat berperan
penting dalam pengetahuan sejarah tentang Leluhur dan garis keturunan
bagi para pratisentana dan bagi orang yang ingin mengetahui cerita –
cerita pada zaman dahulu kala sebelum memasuki zaman atau masa sekarang
ini.
Terima
kasih kami ucapkan kepada kakak sepupu Dr. Sudhaberata Purna SPOG dan
keluarga, serta Keluarga Besar Picasari Tianyar, kami yang telah
memiliki dan membagikannya kepada kami sehingga kami dapat menelusuri
sejarah yang sebelumnya tidak kami ketahui.
Harapan
Kami semoga buku ini dapat lebih disempurnakan lagi. Dengan segala
kerendahan hati bagi yang memiliki bukti – bukti sejarah sebenarnya kami
harapkan dapat membagi pengetahuan sehingga sejarah masa lalu dapat
kita jadikan sebagai pengetahuan bersama.
Atas perhatian dan waktunya kami ucapkan terima kasih.
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Hormat saya
I Ny Dharma As. ST
KERAJAAN BALI AGA DAN MOJOPAHIT
Kerajaan
Bali Aga di Jaman pemerintahan SRI RATNA BUMI BANTEN, yang memerintah
ditahun 143 Masehi dibedahulu terkenal dengan Raja Bedhahulu, Beliau
masih keturunan Raja Daha.
Sri
Asura Ratna Bumi Banten tidak mau tunduk dengan kerajaan Mojopahit
dimana pada waktu kerajaan Mojopahit dipimpin oleh seorang Raja Putri
bernama Tri Buwana Tungga Dewi dengan patih utamanya Aditya Warman
bergelar Arya Damar dan ditemani Patih Gajah Mada.
Karena
keberaniannya beliau menentang kehendak Mojopahit itu menyebabkan Gajah
Mada tak berani gegabah menghadapi Raja Bali ini. Disamping itu Gajah
Mada telah mendengar bahwa diBali banyak terdapat tokoh – tokoh sakti
dan amat tangguh yang menjadi tulang punggung kekuatan kerajaan Sri
Asura Ratna Bumi Banten itu.
Tokoh – tokoh yang paling ditakuti oleh Gajah Mada adalah :
Ki
Kebo Iwa, Ki Pasung Grigis : yang menjabat sebagai mangku bumi kerajaan
Bali Aga, memang kesaktian para tokoh tersebut sudah sangat tersohor
kepelosok negri, belum lagi beliau didukung oleh sederetan orang – orang
sakti seperti :
Ki Tunjung Biru, Tunjung Tutur dan tokoh lainnya.
Olehkarena
keperkasaan beliau inilah menyebabkan ki Patih Gajah Mada berpikir
berat mencari siasat bagaimana caranya untuk menundukan Bali Aga menjadi
dibawah kekuasaan kerajaan Mojopahit.
SUDAH
BERAPA KALI DIADAKANRAPAT PIMPINAN DIDALAM KERAJAAN KHUSUS MEMBAHAS
TENTANG Bali Aga, tetap belum ada yang dapat memecahkan permasalahan
yang memang sangat rumit ini.
Tidak
sedikit yang telah disumbangkan oleh para panglima perang dan ahli
politik Majapahit itu guna bias menundukan bali Aga, tetap saja belum
dapat terpecahkan, karena bukan sembarang musuh yang dihadapinya. Mereka
serba sempurna dalam tata pemerintahan, angkatan perang, kekuatan
prajurit yang tak terhitung disamping kesiapan Kerajaan Bali Aga dalam
keadaan siap perang. Kalau ada gangguan musuh dari luar Bali.
Patih Gajah Mada memang merasakan ada kesulitan besar yang menghantui
dirinya dan belum dirasakan sebelumnya, walaupun dia akan berhadapan
dengan musuh lebih besar dan lebih kuat yang memiliki peralatan perang
serba lengkap. Tetapi menghadapi Bali
terasa ada rasa takut dan ragu-ragu menyelinap pada dirinya
sampai-sampai Gajah Mada memberikan julukan bahwa Raja Bali Aga yang
berkuasa dibali adalah Seorang raksasa manusia. Berbadan manusia
berkepala raksasa dengan mitosnya sendiri. Kerajaan di Beda Hulu yang
siap sedia menyerang kedewataan berani memusuhi para dewata di kahyangan
yang maksudnya adalah kerajaan Majapahit. Demikian Gajah Mada
Menyebutnya memang beliau Raja Bali yang bergelar SRI ASURA RATNA BUMI
BANTEN itu memang tidak mau tunduk sama sekali dengan Majapahit. Karena
mereka ingin menjadi kerajaan yang merdeka. Tidak mau dibawah kerajaan
manapun.
Begitu beraninya SRI ASTA ASURA RATNA BUMI BANTEN, raja Bali Aga waktu
itu, berkat kearifan beliau memerintah menyebabkan rakyat sangat
menghormati dan rakyat hidup aman sentosa. Siapa sebenarnya Raja Bali
Aga itu sebelum misi Gajah Mada ke Bali
? Di Bali sebelumnya Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten berkuasa. Masih
banyak lagi kita jumpai Raja-Raja yang memerintah diBali Aga untuk lebih
jelasnya kita mempunyai gambaran situasi kerajaan diBali mari kita
lihat sederetan Raja-Raja memerintah dibali sebelum itu.
RAJA – RAJA JAMAN BALI KUNO
Berdasarkan penemuan beberapa prasti yang ditinggalkan pada jaman
pemerintahan Raja – Raja masing-masing dapat kita jumpai :
- Raja Sri Kesari Warama Dewa, memerintah tahun 915 Masehi.
- Raja Urgrasena tahun (15- (42 Masehi.
- Ratu Sri Ajitaberendra Warmadewa tahun 955 – 967 Masehi.
- Sri Maha Raja Sri Wijaya Maha Dewi.
- Udayana Warmadewa tahun 989 – 1001 M.
- Darma Wangsa Wardana Mara Kata Pangkajas Thana tahun 1002 – 1025 masehi.
- Anak Wungsu tahun 1049 – 1077 masehi.
- Sri Maha Raja Wala Prabu, tahun 1079 – 1088.
- Sri Maharaja Kaselendu Kirana Guna Darma Laksmidara Wijaya Uttungadewi tahun 1098 – 1101.
- Sri Jaya Sakti, tahun 1133 – 1150.
- Raja Ragajaya tahun 1155.
- Raja Jaya Pangus, tahun 1177 – 1181.
- Sri Maharaja Jaya Ekajaya Lancana, tahun 1181 – 1185.
- Batara Guru Sri adi kunti
- Parameswara Sri Hyang Ingyang Adidewa tahun 1260.
- Raja Patih Makakasir kebo perud.
- Paduka Betara Guru tahun 1324 Masehi.
- Raja Wilajaya Kertaningrat.
- Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten thun 1337 Masehi.
- Sri Kesna Kepakisan di Samplangan dibawah pengaruh majapahit.
Demikian
jajaran Raja-Raja yang pernah memerintah Bali Aga dari jaman kuno
sampai jatuhnya Bali Aga ketangan Majapahit. Sampai akan menurunkan
kerajaan Sri Kresna Kepakisan diBali sehingga terjadi babad berikutnya
dengan istilah garis keturunannya. Dalam sejarah singasari, pada jaman
pemerintahan kertanegara, beliau pernah mengirimkan pasukannya keBali
Aga. Tahun 1260 untuk menyerang bali, pada waktu itu yang menjadi raja
diBali adalah Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lancana. Bali dapat
dikalahkan dan beliau sang raja ditahan dibawa kejawa sebagai tawanan
perang yang menjadi senopati kediri waktu itu adalah Ki Kebo Bunggalan
dengan panglima perangnya yang sangat tangguh antara lain Kiyai Pedung,
Kiyai Lembu Peteng, Kiyai Dengdi, Kiyai Kebo Anabrang, Kiyai Jaran Waha,
Kiyai Patih Nengahan, Kiyai Arya Sidi dan lainya..
Setelah Bali aga jatuh, Bali
dipercayakan oleh Raja yang dipimpin kiyai Kebo Anabrang, atas
jasa-jasanya yang sangat besar saat itu. Beliau diberi gelar oleh Raja
Singasari bernama : Rakerian Demunggate Bunggulan. Sedangkan Ki Kebo
Perud putra beliau diangkat sebagai pelaksana pemerintahan sehari-hari
mengingat Ki Kebo Bunggalan bapaknya sudah lanjut usia selanjutnya Ki
Kebo Perud diangkat sebagai Raja tahun 1218 dengan bergelar Raja Patih
Makakakisar Kebo Perud beliau memerintah atas nama Singasari.
Setelah Bali Aga sudah tenang dan tentram kembali, lama kelamaan
pemerintahan kerajaan diserahkan kembali kepada keturunan raja bali
Wangsa Warman yang mana beliau itu memang dinasti Raja Keturunan Batara
Guru.
Yang ditunjuk sebagai raja adalah Sri Darma Tungga Dewa Warma Dewa
dengan gelar Sri Paduka Maharaja Batara Guru beliaulah nantinya
merupakan keturunan dari Raja dua bersuami istri Sri Gunaperia Darma
Patni dengan Sri Udayana Warma Dewa. Tahun 911 – 929 dengan kerajaan
beliau bertempat di BEDULU.
Adapun jaman pemerintahan Raja Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten,
dirasakan sangat adil oleh rakyatnya. Kesejahteraan sangat baik Negara
amat aman, tentram dan kertaraharja, rakyat sangat menghormati beliau
dan beliau sangat memperhatikan peringatan tempat-tempat suci, pemujaan –
pemujaan para Dewa dan para leluhur. Kewajiban rakyat diatur sangat
baik, seperti halnya penduduk yang tinggal dekat dengan Pura dan
bekerja diPura secara rutin. Mereka dibebaskan dari tugas-tugas lain
atau pajak-pajak. Maupun tagihan yang mengikat. Mereka yang tnggal
disekitar Pura diwajibkan menyumbang saat ada upacara dipura seperti
odalan, mereka diwajibkan menyerahkan 1 ekor babi, 20 butir telur, 5
tandan pisang ditanggung oleh kelompok pengayom.
Adapun bangunan-bangunan yang pernah beliau dirikan adalah sebuah kolam
dengan perhiasan patung Makara Dewi dibangli bagian selatan dan sebuah
pemujaan bernama uameru bertempat ditaman bali sekarang disebut taman Bali.
Setelah Raja Batara Guru wafat beliau digantikan oleh putranya yang
bernama trunajaya, dengan gelar Walajaya Kertaningrat. Pemerintahan
beliau sampai berakhir tahun 1324 Masehi.
Pada tahun yang sama dikerajaan Majapahit terjadi kerusuhan dimana Raj
Kala Gemet bergelar Maha Raja Jayanegar. Dibunuh oleh Ratanca kemudian
Ratanca dibunuh oleh Gajah Mada. Para pembantu terdekat disaat itu
adalah Ki Bundan Tured, Ki Guntur, KiPindan Macan sedangkan yang menjabat sebagai hakim pengadilan adalah Kiyai Budhacara.
Dalam pemerintahan Sri Maha Raja Walajaya, kerajaan bali Aga sangat
nyaman, tenang, tentram tak ada keributan. Rakyat benar-benar dapat
merasakan kebahagiaan hidupnya berkat karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah Sri Walajaya Kertaningrat mangkat, kerajaan dipegang oleh Si
Raja Asta Asura Ratna Bumi Banten sekitar tahun 1337 Masehi. Beliau
menganut aliran agama Buddha Bairawa dalam jaman pemerintahan beliau
inilah Bali mengalami pergeseran yang sangat mendasar. Dimana pada titik awal ini pula Bali mengalami perubahan-perubahan seperti kita ketahui sampai saaat ini.
Beliau memiliki patih-patih yang sangat kuat dan sakti dengan sederetan
tokoh-tokoh perang yang sangat disegani oleh kerajaan yang ada diluar
Bali, termasuk majapahit dibawah Patih Gajah Mada dengan Maha Patih Arya
Damar dibawah raja Putri Tribuwana Tungga Dewi.
Karena kesohoran beliau dalam pemerintahan itu pula bali kuat. Aman,
tentram sehingga Gajah Mada mengalami kesulitan untuk menghadapi Bali secara terbuka.
Tokoh – tokoh besar yang berperan dalam membantu Sri Asta Asura Ratna
Bumi Banten antara lain yakni Patih kebo Iwo, yang tinggal dibelah batuh
dan Ki Karang Buncing bapaknya Kiyai Tambiak tinggal dijimbaran, Kiyai
Tunjung Tutur tinggal ditengenan, Kiyai Buwahan tinggal dibatur,. Akil
perang yang tak kalah saktinya yaitu : Kiyai Tunjung Biru, tinggal
ditianyar, Kiyai Kupang tinggal diseraya, Kiyai Walungsingkal tinggal di
taro, Ki Pasung Grigis sebagai mangku Bumi tinggal ditengkulak.
Diantara mereka inilah tanggung jawab keamanan, ketertiban dan ketata
negaraan termasuk pelaksanaan adapt agama dilaksanakan/ dimana pendeta
Siwa- Buddha aliran adapt lain bias berkembang, dan selalu diikut
sertakan dalam kegiatan-kegiatan agama. Beliau sangat dicintai
keluarganya dan dihormati. Pura Besakih merupakan Pura pusat mendapat
perhatian paling utama oleh beliau. Juga pura-pura kahyangan lainnya tak
pernah beliau lupakan. Berkat itulah dijaman pemerintahan beliau itu
dibali mengalami jaman keemasan amat tertib dan tentram.
Kewibawaan beliau terlihat, terpancar dikala ada rapat-rapat
dibalairung . beliau selalu mengenaakan pakaian, kain lembaran panjang.
Berdodot sutera hiau, destar sutra putih, berselendang Mas Mutu Manikan.
Dengan keris bertahtakan berlian. Sangat berwibawa dengan charisma
beliau yang sangat Agung. Dalam siding-sidang rapat bersama mentri,
punggawa, Manca beliau selalu meminta laporan tentang rakyatnya,
kesejahteraan dan lingkungannya serta keamanan dimana masing-masing
bertugas. Konon dijaman pemerintahan beliau benar-benar tertib dan aman,
tak ada pencurian apalagi kerusuhan yang mengganggu ketertiban dan
kenyamanan dalam pemerintahannya juga dalam kehidupan rakyatnya.
Gajah Mada telah mendengar peta kekuatan kerajaan Baliaga dibawah Maha
Raja Sri Asura Ratna Bumi Banten dengan Patih yang mengelilinginya serta
kesatuan kekuatan rakyatnya.
Tetapi sumpah palapa Gajah Mada harus terlaksana untuk menggempur Bali
Aga secara terbuka tentu saja teramat sulit mengingat Kekuatan Bali
Sangat Kuat dan terlatih.
Sedangkan Bali Aga sudah terang-terangan menentang kehendak tu
Majapahit dibawah Putri Tri Buwana Tungga Dewi, karena Bali merasa lebih
dekat dengan kerajaan Daha, Hubungan Bali dengan Daha sudah terjalin
cukup lama dan sejak Guna Pria Dharma Patni Raja Putri dibali tahun
989-1001 karena pula itulah Bali bentrok dengan kerajaan Singasari tahun
1222 Masehi.
Dalam peperangan antara Bali Aga dengan Singasari bali dapat ditaklukan
oleh Raja Kertanegara, tahun 1284, sedangkan Singasari dibawah
Kertanegara ditaklukan oleh Daha tahun 1292 dan Bali langsung dibawah
Daha Kembali.
Kemudian Daha diserang oleh kerajaan Majapahit dan jatuh pada tahun
1292 Masehi kemudian Daha ada dibawah kerajaan Majapahit. Dengan
jatuhnya Daha ketangan Majapahit, Bali tidak mau tunduk kepada Majapahit
yang menyebabkan Tri Buwana Tungga Dewi menjadi marah dan memberikan
kuasa kepada Rakreran Patih Gajah Mada untuk mengatur siasat mencari
cara agar Bali dapat ditundukan dibawah Majapahit.
Untuk memecahkan suasana yang pelik ini Bali
juga mengadakan siding Mentri oleh sang Raja Asura Bumi Banten. Untuk
mengambil keputusan sikap apa yang akan diambil kalau seandainya
keputusan sikap dan harus seperti bagaimana sikap kerajaan bali kalau
Majapahit mengganggu kedaulatan kerajaan bali tersebut. Seorang Patih
Bernama Bima Sakti menganjurkan agar Bali
tidak usah tunduk dibawah Majapahit, dan bali harus terbebas dari
segala pengaruh kerajaan manapun. Dan sejak itu pula maka sang Raja Sri
Asura Ratna Bumi Banten selalu menentang kehendak kerajaan Majapahit.
Majapahitpun tidak tinggal diam dan terus mengatur siasat agar bali
dapat ditaklukan dan tunduk terhadap kerajaan Majapahit.
Maha Patih Arya Damar dan Gajah Mada benar-benar merasa kwalahan
menghadapi sikap kerajaan Bali Aga yang memiliki prinsip teguh dan kuat
untuk menentang kerajaan Majapahit. Dalam siding selanjutnya Majapahit
memutuskan untuk mengirim Gajah Mada ke Bali
dan menghadap Sri Baginda Raja Bali Ratna Bumi Banten dengan cara yang
telah diperhitungkan dan sangat benar-benar matang. Karena Raja Bali
terkenal sangat cerdik dan sakti terlebih lagi ia dikelilingi oleh
orang-orang yang sangat sakti.
Gajah Mada sudah menyusun strategi dan taktik paling jitu menghadapi kerajaan Bali aga tunduk dan berada dibawah Majapahit.
PATIH GAJAH MADA DIUTUS KEBALI DAN KEBO IWA TERTIPU
Dalam siding besar diistana Majapahit khusus membicarakan tentang
membandelnya Raja Bali Age itu, dimana dia tidak pernah mau
memperhatikan perintah-perintah kerajaan Majapahit, untuk itu diambil
keputusan untuk mengirim Gajah Mada ke Bali untuk melaksanakan
siasatnya, sambil melihat dari dekat tentang keadaan kekuatan pasukan
Prajurit Bali Aga itu. Disamping itu Gajah Mada memang sudah bulat untuk
melaksanakan tekadnya dalam mempersatukan seluruh nusantara dengan
sumpah Palapanya agar benar-benar terlaksana.
Sebenarnya Sri Maharaja Bali Aga itu tidaklah seorang yang serakah
kejam dan ganas seperti dalam dongeng. Tetapi itu diibaratkan oleh Gajah
Mada karena keberanianya. Beliau satu-satunya raja yang berani
menentang kehendak Gajah Mada sebaliknya beliau sangat dicintai dan
dihargai oleh rakyatnya, taat dalam melaksanakan kegiatan keagamaan.
Beliaulah raja yang dengan keras menentang Bali dijajah oleh kerajaan lain termasuk Majapahit.
Karena keberanian itulah maka Gajah Mada menyebut Bali diperintah oleh seorang Raja Lalim berbadan Manusia berkepala Raksasa yang beristana diBedahulu.
Demikian Gajah Mada mengibaratkan, karena memang raja Bali Aga itu
satu-satunya yang berani menentang kehendak kerajaan Majapahit. Sehingga
cita-cita Patih Gajah Mada untuk mempersatukan seluruh nusantara
terhambat karena sikap Raja Bali tersebut.
Dalam siding maka diutuslah Patih Mada dengan membawa sepucuk surat
dari kerajaan Majapahit kepada Kerajaan Bali, keberangkatan Patih Gajah
Mada tidak terlihat mencolok, hanya ditemani beberapa orang penting
disamping untuk menyelidiki keadaan pemerintahan bali sehingga tidak
menimbulkan kecurigaan nantinya. Keberangkatannya menggunakan perahu
layer, naik dari pelabuhan pantai bubat menyelusuri pantai kerajaan
Pejarakan, terus kepelabuhan purancak sampai ketepi pantai jembrana, dan
dilanjutkan hingga rombongan tiba dipantai Gumicik. Lalu diteruskan
melalui jalan darat. Sehingga tersiar kabar bahwa ada serombongan
penumpang perahu sedang berlabuh dipantai Gumicik dekat belah Batuh.
Mendengar laporan itu Kiyai Ki Pasung Grigis dalam keadaan siap tempur,
mulailah Gajah Mada mengaturkan sembah ampun kepadanya.
Maafkan
atas kedatangan hamba tanpa memberi kabar terlebih dahulu…. Hamba
adalah utusan Majapahit bernama Patih Gajah Mada, kedatangan Hamba atas
kehendak Ratu Tri Buwana Tungga Dewi untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Sri Raja Bali.
Mendengar
penjelasan Patih Gajah Mada maka mengertilah Ki Pasung Grigis bahwa
kedatangannya kebali tidak ada niat buruk. Disamping mereka tidak
membawa perlengkapan perang sebagaimana lazimnya angkatan perang. Ki
Pasung grigis menyambut tamunya dengan sangat sopan. Disamping itu ia
juga mendengar tentang kemasyuran Patih Gajah Mada di Majapahit.
Baik Patih mada untuk itu mari akan kami antarkan untuk menemui dan
menghadap Sri Baginda Raja, alangkah baiknya jika bersinggah dulu ke
Belah Batuh untuk beristirahat sejenak, tinggal dirumahnya ki Kebo Iwa,
sedangkan saya sendiri akan melapor terlebih dahulu untuk memberitahukan
Sri Baginda Raja agar dapat kami atus sebagaimana semestinya.
Setelah tiba di Belah Batuh maka Patih mada dan rombongan diperkenalkan dengan Kiyai Karang Buncing, bapaknya ki Kebo Iwa.
Sedangkan
Ki Pasung grigis meneruskan perjalanannya menuju keBedahulu. Dirumah ki
Kebo Iwa mereka beristirahat dan berbincang-bincang dengan Ki Karang
Buncing dan Ki Kebo Iwa, bahwa sebenarnya kedatangannya ke Bali
ini tidak lain bukan untuk mengikat persaudaraan, dimana Ratu Majapahit
ingin menghadiahkan seorang utri untuk dinikahkan dengan Ki Kebo iwa.
Dari percakapan tersebut membuat Ki Kebo Iwa dan ki Karang Buncing
terpengaruh dan timbukl simpati dalam hatinya karena tutur kata Dari
Gajah Mada yang sangat Halus dan sopan seperti mereka sangat bersahabat.
Begitu terpengaruhnya sehingga mereka tidak memiliki prasangka bahwa
maksud dan tujuan dibalik itu adalah sangat buruk.
Ki Pasung Grigis setelah sampai di Bedahulu langsung melaporkan
kedatangan Patih Mada sebagai utusan Ratu Majapahit dan menjelaskan juga
hasil pemeriksaannya terhadap Rombongan Patih Mada sebagaimana
ketentuan penerimaan tamu. Mendengar penjelasan secara terperinci maka
Maha Raja Sri Asura Ratna Bumi Banten memerintahkan kepada Ki Pasung
Grigis untuk mengantar tamunya kebedahulu dengan segera.
Berangkatlah
Ki Pasung Grigis untuk membawa Utusan Raja Majapahit tersebut.
Sesampainya di kerajaan Puri Bedahulu semua rombongan Patih Gajah Mada
menunduk, berjalan membungkuk sebagai penghormatan kepada Raja Bali guna
mengambil simpati sang Raja Bali tersebut.
Melihat sikap Sopannya maka Raja Bali Menghormatinya sehingga ia dipanggil untuk mendekat.
“
Hai Patih Mada kemarilah mendekat padaku, berita apa yang kau bawa
untukku, ceritakanlah jangan engkau merasa sungkan”. Patih Mada pun
menghaturkan sembah kepada Sri Baginda Raja Bali.
“
Ampun Paduka Tuanku, hamba dating diutus oleh Paduka Tuanku Putri Ratu
Majapahit untuk menghadap tuanku Raja. Mempersembahkan sepucuk surat, Hamba mohon Ampun jikalau hamba membuat kekeliruan dalam tatacara menghadap kehadapan Sri Baginda Raja Agung. Inilah surat beliau Mohon Paduka Raja Menerimanya”.
Akhirnya Rajapun Menerima Surat tersebut dan membaca isinya yang diluar dugaan semula :
- Majapahit memohon dengan sangat agar Kerajaan Bali jangan menyerang kerajaan Majapahit.
- Mohon Hubungan yang dahulu diteruskan sebagai hubungan persaudaraan.
- Mohon
kesediaannya agar Ki Kebo Iwa diperkenankan untuk pergi ke Jawa
untuk dinikahkan dengan seorang putrid yang kecantikannya sudah
terkenal ditanah Jawa.
Semua
itu adalah bukti dari ketulusan hati Raja Majapahit untuk menjalin
persahabatan dan persaudaraan antara kedua belah pihak. Agar terwujud
ketenangan dan ketentraman yang didambakan.
Melihat isi surat
yang lemah lembut dan sangat sopan dan ditanda tangani Ratu Kerajaan
Majapahit dengan tak ada prasangka maka Raja Bali menerima semua
permintaan dari kerajaan Majapahit. Dan semuapun bergembira mengetahui
isi dari surat tersebut.
Untuk merayakanya diadakanlah pesta penyambutan untuk menghormati
tamunya yang penting itu. Dalam kesempatan itu beliau memerintahkan Ki
Kebo Iwa untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk pergi Kejawa dan
menerima Hadiah dari Kerajaan Majapahit tersebut yaitu seorang putrid
cantik untuk ia nikahkan.. kemudian berangkatlah mereka menuju tanah
jawa bersama rombongan Patih Mada dari Majapahit tersebut.
KI KEBO IWA TERTIPU
TERNYATA SURAT UNDANGAN DAN HADIAH TERSEBUT HANYALAH SIASAT DAN TIPU
MUSLIHAT DARI KERAJAAN Majapahit untuk mengelabui Kerajaan Bali dan Ki
Kebo Iwa karena merupakan bagian dari taktik Patih gajah mada untuk
menyingkirkan Ki Kebo Iwa dari Kerajaan Bali. Karena menurut
penyelidikan bahwa Patih yang paling sakti mandra guna tersebut adalah
Ki Kebo Iwa karena ia tidak bias mati oleh senjata apapun, walau
bagaimanapun kesaktian dan keampuhan pusaka tidak mampu membunuhnya.
Sehingga Majapahit memiliki keragu-raguan untuk menyerang Bali. Setelah sampai ditanah jawa Ki Kebo Iwa Terbunuh oleh kesaktiannya sendiri. Dikarenakan tipu muslihat Patih gajah Mada.
Dalam perjalanan Ki Kebo Iwa kejawa dan bagaimana Ki Kebo Iwa dapat
menyelamatkan diri dari usaha Gajah Mada menenggelamkan dia kedasar laut
nanti akan ditemui dalam babad Bedahulu dan babad Kebo Iwa.
Setelah ki Kebo Iwa Meninggal maka Majapahit tidak merasa ada kesulitan
dan keraguan untuk menyerang Bali Aga meskipun masih banyak terdapat
tokoh sakti lainnya.
Sejarah BALI Tahun 800 SM
Tonggak
awal rentangan masa Bali Kuno, adalah abad VIII. Atas dasar itu maka
periode sebelum tahun 800 sesungguhnya tidak termasuk masa Bali Kuno.
Gambaran umum periode tersebut diharapkan dapat menjadi landasan
pemicaraan mengenai masa Bali Kuno, sehingga terwujud uraian lebih utuh.
Gambaran periode sebelum tahun 800 itu meliputi masa prasejarah Bali
dan berita-berita asing tentang Bali, khususnya yang berasal dari Cina.
Peninggalan-peninggalan
masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana ditemukan di
desa Sembiran dan pesisir timur serta tenggara Danau Batur.
Peninggalan-peninggalan itu berupa kapak perimbas, kapak genggam, pahat
genggam, dan serut (Soejono, 1962 : 34-43 ; Heekeren, 1972 : 46). Tahap
kehidupan berikutnya, yakni masa berburu dan mengumpulkan makanan
tingkat lanjut, meninggalkan bukti-bukti di Gua Selonding, Gua Karang Boma I, Gua Karang Boma II
yang terletak di perbukitan kapur Pecatu (Kabupaten Badung).
Bukti-bukti itu antara lain berupa alat-alat dari tulang dan tanduk
rusa, serta sisa-sisa makanan, yakni kulit-kulit kerang dan siput laut,
serta gigi babi rusa (Sutaba, 1980 : 15). Bukti-bukti yang serupa
ditemukan juga di Goa Gede Nusa Penida (Suastika, 2005 : 30-31).
Pada
masa bercocok tanam, jumlah penduduk Bali telah bertambah dan
persebarannya semakin meluas. Peninggalan benda-benda budaya mereka
ditemukan di Palasari, Pulukan, Kediri, Kerambitan, Bantiran. Kesiman,
Ubud, Payangan, Pejeng, Selulung, Selat, Nusa Penida, dan beberapa desa
di Kabupaten Buleleng. Benda-benda itu pada umumnya berupa alat-alat dan
perkakas yang digunakan sehari-hari, misalnya kapak dan pahat batu
persegi empat panjang. Artefak-artefak tersebut di dapat sebagai temuan
lepas, dalam arti, bukan merupakan hasil ekskavasi yang sistematik
(Sutaba, 1980 : 19 ; cf. Suastika, 1985 : 30-33).
Hal
lain yang perlu dikemukakan ialah masalah religi. Pelbagai peninggalan
tradisi megalitik, misalnya tahta batu, dolmen, menhir, arca yang
bercorak megalitik, dan hiasan kedok muka pada beberapa sarkofagus
mencerminkan bahwa perkembangan religi pada masa itu telah maju.
Pemujaan terhadap arwah leluhur yang bersemayam di puncak-puncak gunung
atau tempat-tempat suci lain dan kekuatan-kekuatan alam tertentu yang
diyakini dapat mempengaruhi kehidupan mereka berkembang semakin subur,
Bahkan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari benda-benda
peninggalan tradisi megalitik itu sampai dewasa ini masih disucikan dan
digunakan sebagai media memohon kesejahteraan masyarakat (Sutaba, 1995 :
88).
Hal yang menarik perhatian pula ialah sejumlah tahta batu diberikan nama khas Bali, misalnya Pelinggih Bhatara Puseh, Bhatara Dalem, Jero Wayan, Jero Nongan, Pesimpangan Batu Belig, dan Pesimpangan Tamba Waras
(Kusumawati, 1989 : 107-222 ; Sutaba, 1995 : 101-102). Lebih jauh
mengenai kekhasan Bali, R.P. Soejono menunjuk pola hias kedok muka pada
beberapa sarkofagus serta sistem kubur sekunder dengan tata letak
bagian-bagian rangka yang sangat teratur dan betul-betul tidak ada
persamaannya di tempat lain. Dikatakannya bahwa hiasan kedok muka itu,
selain berfungsi dekoratif, juga melambangkan kekuatan gaib yang
berfungsi melindungi roh orang yang meninggal dari gangguan roh-roh
jahat (1977 : 30-169 ; 246-270 ; 1993 : 7). Selain itu, beliau juga
terkesan dengan pahatan yang menggambarkan alat vital wanita dan kerbau
pada sarkofagus yang ditemukan di Ambiarsari dan Munduk Tumpeng. Dalam
kaitan dengan pahatan-pahatan tersebut, khususnya yang terdapat pada
sarkofagus di Munduk Tumpeng, beliau menyatakan bahwa hal itu memperkuat
pemahaman mengenai fungsi sarkofagus tipe itu, yakni untuk menopang
pencapaian tujuan hidup setelah seseorang lepas dari lingkaran kelahiran
kembali (rebirth). Roh orang itu akan diangkut oleh
kerbau yang berfungsi sebagai kendaraan bagi roh orang yang meninggal
agar sampai di alam arwah dengan selamat dan cepat. Dengan kata lain,
sarkofagus Munduk Tumpeng memiliki makna ganda, yakni kelahiran kembali
dan kehadiran dengan selamat di alam para leluhur (19... : 183).
Mudah
dipahampi bahwa sejalan dengan perkembangan atau kemajuan dalam bidang
religi akan muncul pula tokoh-tokoh yang mempunyai kemampuan khusus
dalam bidang spiritual, misalnya para pemimpin upacara-upacara
magis-religius. Kedudukan mereka terhormat dan peranannya sangat besar.
Kedudukan dan peranannya seperti itu menyebabkan mereka menjadi
tokoh-tokoh yang amat disegani oleh masyarakat (cf. Bertling, 1974 : 11-15).
Gambaran
di atas diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa manusia Bali pada
akhir masa perundagian, atau menjelang masa sejarah, telah mencapai
tingkat kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, religi, teknologi, dan
sebagainya yang relatif maju dan kompleks. Dengan bekal itulah, mereka
menyongsong kehadiran pengaruh budaya-budaya asing berikutnya, yang
sebagaimana akan diketahui, dengan arus terkuat berasal dari daratan
India.
Keterangan-keterangan
tentang Bali yang terdapat dalam sumber-sumber Cina perlu dikemukakan
pula di sini. Nama-nama dalam kitab Cina, yang oleh sementara orang
pernah diidentifikasikan sebagai Bali, adalah P’o-li, Dva-pa-tan, dan Mali. Toponim P’o-li dikenal sejak pemerintahan dinasti Liang (502-556). P’o-li dikatakan terletak di sebuah pulau di sebelah tenggara Kanton Groeneveldt, 1960 : 80). Nama P’o-li juga terbaca dalam kitab sejarah dinasti Sui 9581-617). Di sana disebutkan bahwa jika seseorang berlayar dari Gau-chi (Annam Utara) ke arah selatan, maka akan sampai di Chih-tu, kemudian di Tan-tan, dan akhirnya di P’o-li (Groeneveldt, 1960 : 82), Keterangan seperti itu terbaca pula dalam kitab sejarah baru dinasti T’ang (618-908), dengan sedikit tambahan yang menyatakan bahwa di sebelah timur P’o-li terletak Lu-cha dengan adat-istiadat sama dengan P’o-li (Groenveldt, 1960 : 83-84 ; Slametmulyana, 1981 : 126).
Informasi tentang P’o-li yang berbeda jika dibandingkan dengan keterangan-keterangan di atas terdapat dalam kitab sejarah kuno dinasti T’ang (618-908). Penulis kitab itu mencatat bahwa P’o-li merupakan batas sebelah timur kerajaan Ho-ling. Lebih jauh, Ho-ling (Ka-ling) dikatakan terletak di sebuah pulau di lautan sebelah selatan. Di sebelah timur Ho-ling terletak P’o-li, di sebelah barat To-po-teng, di sebelah utara Chen-la (Kamboja), dan di sebelah selatan adalah lautan (Groenveldt, 1960 : 12 cf. Sumadio, dkk., 1990 : 281).
Sesungguhnya, identifikasi P’o-li dengan Bali sangat diragukan, bahkan tidak disetujui oleh kebanyakan ahli. Identifikasi P’o-li dengan Bali pernah dikemukakan oleh P. Pelliot. Akan tetapi, ditambahkannya pula bahwa P’o-li mungkin identik dengan Kalimantan. Pendapat yang menyatakan bahwa P’o-li
terletak di Kalimantan, atau sama dengan Kalimantan, dikemukakan juga
oleh E. Bretschneider dan Dato Sir Roland Braddel (Sumadio, dkk., 1990 :
281).
Ahli-ahli sebagian besar mengemukakan bahwa P’o-li terletak di wilayah Sumatra. Menurut G. Schlegel, P’o-li identik dengan Asahan di pantai timur laut Sumatra Utara, dan menurut W.P. Groeneveldt, P’o-li berada di pantai utara Sumatra. Hsu Yu-ts’iao mengindentifikasi negeri P’o-li dengan Pantai di pantai timur laut Sumatra dan V. Obdeyn menyatakan P’o-li terletak di pulau Bangka. Menurut J.L. Moens, P’o-li pada aad VI sama dengan Palembang, Sedangkan P’o-li pada abad VII adalah untuk menyatakan sebuah kerajaan yang terletak di Jawa. Dapat ditambahkan bahwa menurut G.E. Gerini, P’o-li terletak di pantai barat Semenanjung Malaya (Sumadio, dkk., 1990 : 281).
Pendapat-pendapat yang telah dikemukakan cenderung menyatakan bahwa P’o-li
merupakan kerajaan besar, atau paling tidak terletak di wilayah yang
luas. Kecenderungan itu sesuai dengan gambaran yang di dapat dari kitab
sejarah dinasti Sui. Menurut penulis kitab itu, panjang kerajaan P’o-li
dari timur ke barat adalah selama empat bulan perjalanan, dan dari
utara ke selatan selama 45 hari perjalanan (Groeneveldt, 1960 : 82).
Apabila memang benar P’o-li merupakan kerajaan besar, maka tidak sesuai dengan Bali yang relatif kecil.
Toponim yang lebih cocok diidentifikasikan dengan Bali, menurut bagian lain pendapat Groeneveldt, adalah Dva-pa-tan
yang terbaca dalam kitab sejarah kuno dinasti T’ang. Negeri itu
dikatakan terletak di sebelah selatan Kamboja dalam jarak dua bulan
pelayaran, atau di sebelah timur Ho-ling (Ka-ling). Adat istiadatnya sama dengan Ho-ling.
Di sana, tiap bulan padi sudah dapat dituai, dan penduduk menulis pada
daun rontal. Jika ada orang mati, mayatnya diberi perhiasan emas, ke
dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar disertai dengan
bau-bauan yang harum (Groeneveldt, 1960 : 12-58). Di dalam kitab Chu-fan-chih bagian Su-chi-tan, Bali disebut dengan nama Mali. Lebih jauh, penulis kitab Yao-i-chin-lue mencatat nama P’eng-li yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Pali atau Mali (Sumadio, dkk., 1990 : 282).
Dokumen
tertua ditemukan di Bali, dalam hal ini di Pejeng, ialah
prasasti-prasasti berbahasa Sansekerta pada tablet-tablet tanah liat
yang semula tersimpan di dalam stupika-stupika (stupa-stupa kecil) dari
tanah liat. Prasasti-prasasti itu berupa mantra-mantra agama Buddha yang
terkenal dengan nama ye-te-mantra. Prasasti-prasasti
sejenis ini ditemukan juga di Pura Pegulingan Basangambu, Tampaksiring
dan situs Kalibukuk Buleleng. Bunyi teksnya sebagai berikut.
“Ye dharmā hetu-prabhawā
Hetun tesān tathāgato hyawadat
Tesāñca yo nirodha
Ewamwādi mahāśramanah” (Goris, 1948 : 3).
Artinya :
“Keadaan
tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh Tathagata
(Buddha), Tuan mahatapa itu telah menerangkan juga apa yang harus
diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab itu”5
Mantra
sejenis itu tertulis pula di atas pintu Candi Kalasan (di Jawa Tengah)
yang berasal dari abad VIII atau tahun 700 Śaka (778). Berdasarkan
kesamaan tipe aksara mantra-mantra di kedua tempat itu, maka
mantra-mantra agama Buddha di Pejeng diduga berasal dari abad VIII pula
(Goris, 1949 : 3-4 ; cf. Budiastra, 1980/1981 : 36-38).
Di
desa Pejeng ditemukan pula fragmen-fragmen prasasti berbahasa
Sansekerta dengan huruf Bali Kuno. Keadaannya sudah sangat tua. Di
antara bagian-bagian yang masih terbaca antara lain manuśasana... (pada fragmen d), ...mantramārgga... (pada fragmen g), ...śiwas (...) ddh ... (pada fragmen h), yang secara lengkap kiranya berbunyi ... śiwasiddhanta ..., dan ...sakalabhuwanakrt
... (pada fragmen k), yakni nama lain untuk Wiśwakarman. Hal-hal itu
memberi petunjuk bahwa isi prasasti tersebut pada umumnya bersifat
keagamaan, dalam hal ini agama Hindu sekte Śiwa ; bahkan agama itu
rupanya telah bersifat mantris atau tanris (Stutterheim, 1929 : 62).
Fragmen-fragmen
tersebut di atas tidak ada yang berangka tahun. Stutterheim, setelah
melakukan studi komparatif antara huruf fragmen-fragmen prasasti itu
dengan huruf prasasti-prasasti di Jawa, terutama di Jawa Tengah, dapat
menyimpulkan bahwa di antara fragmen-fragmen itu ada yang berasal dari
masa sebelum tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX
(Stutterheiom, 1929 : 62).
Fragmen-fragmen
tersebut di atas tidak ada yang berangka tahun. Stutterheim, setelah
melakukan studi komparatif antara huruf fragmen-fragmen prasasti itu
dengan huruf prasasti-prasasti di Jawa, terutama di Jawa Tengah, dapat
menyimpulkan bahwa di antara fragmen-fragmen itu ada yang berasal dari
masa sebelum tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX
(Stutterheim, 1929 : 59). Jika dugaan itu benar, maka berarti, di daerah
Pejeng (Gianyar) pada waktu itu, agama Buddha dan agama Hindu sekte
Siwa telah mempunyai pemeluk masing-masing, yang hidup saling
menghormati dengan penuh toleransi.
Rentangan waktu tahun itu disebut pula periode Singhamandawa, karena hampir seluruh prasasti dari periode itu dikeluarkan di Panglapuan (panglapwan)
di Singhamandawa. Pada bagian awal periode tersebut, yaitu tahun
882-914, terbit tujuh buah prasasti berbahasa Bali kuno, yakni prasasti Sukawana AI (804 Saka), Bebetin AI (818 Saka), Trunyan AI (833 Saka), Trunyan B (833 Saka), Bangli, Pura Kehen A, Gobleg, Pura Desa I (836 Saka), dan Angsri A. Ketujuh prasasti itu tidak memuat nama raja atau pejabat yang mengeluarkannya (Goris, 1954a : 53-62).
Prasasti pertama pada intinya berisi tentang pengembalian fungsi kesucian ulan (semacam bangunan suci keagamaan) di wilayah perkebunan di bukit Citamani (sekarang Kintamani). Tampaknya, ulan
itu sempat digunakan sebagai tempat lalu-lalang bagi orang-orang yang
pulang pergi ke kebun atau sawah ladangnya. Kebijakan yang ditempuh
penguasa ialah menyuruh Senapati danda, bhiksu Siwakangsita, Siwanirmala, dan Siwaparjna membangun pertapaan yang dilengkapi pasanggrahan (satra) di bagian lain bukit Cintamani. Selanjutnya, orang-orang yang lalu-lalang di daerah itu agar tidak lagi menggunakan jalan setapak yang melewati kompleks ulan
melainkan melalui jalan di kompleks pertapaan. Batas-batas wilayah
pertapaan ditetapkan. Prasasti ini juga memuat ketetapan pembebasan para
bhiksu dari tugas dan pajak-pajak tertentu, serta aturan
pembagian harta warisan. Berdasarkan prasasti itu, dapat diketahui bahwa
di bawah pucuk pemerintahan paling sedikit ada empat jabatan tinggi
kerajaan, yaitu sarbwa, dinganga, nayakan, makarun, dan manuratang ajna. Jabatan-jabatan ini tetap bertahan selama periode Singhamandawa, yakni ketika prasasti-prasasti dikeluarkan di panglapuan di Singhamandawa (882-942). Setelah itu, jabatan-jabatan tinggi kerajaan rupanya semakin meningkat jumlahnya.
Prasasti Bebetin AI berkenaan dengan desa (banwa) bharu, atau secara lebih lengkap kuta di banwa bharu, yang bermakna desa bharu
yang berbenteng. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa pada suatu ketika
desa itu diserang atau dirusak oleh perampok. Banyak penduduk mati
terbunuh atau terluka dan banyak pula yang mengungsi ke desa-desa
tetangga. Setelah keadaan aman, merekapun kembali ke desa bharu. Demi kelengkapan desa, khususnya dalam bidang spiritual, raja menyuruh pejabat nayakan pradhana yaitu kumpi ugra dan bhiksu Widya Ruwana untuk memimpin pembangunan kuil Hyang Api,
dengan batas-batas wilayah yang telah ditentukan. Prasasti ini memuat
pula aturan-aturan pembagian harta warisan dan ketetapan mengenai tugas
atau kewajiban serta hak-hak penduduk yang berdiam di sana.
Desa bharu rupanya terletak di pesisir pantai utara Pulau Bali,6
dan merupakan salah satu pelabuhan yang ada pada waktu itu. Dugaan
terakhir ini didasarkan atas adanya ketentuan yang mengatur
saudagar-saudagar dari luar yang berdagang di sana dan perahu-perahu
yang mengalami kerusakan termuat dalam prasasti itu. Bagian teks prasasti Bebetin AI mengenai hal itu, sebagaimana terbaca pada lembaran Iib.3-4 berunyi sebagai berikut.
”...
anada tua banyaga turun ditu, paniken (baca : paneken) di hyangapi,
parunggahna, ana mati ya tua banyaga, perduan drbyana prakara, ana
cakcak lancangna kajadyan papagerrangen kuta ...” (Goris, 1954a : 55).
Artinya :
”...Jika ada saudagar berlabuh (turun) di sana, barang-barang persembahannya supaya dihaturkan kepada kuil Hyang Api,
(jika) ada mati (di antara) saudagar itu, segala harta miliknya agar
dibagi dua, (jika) perahunya rusak, supaya dijadikan pagar untuk
memperkuat benteng, ...”
Isi kedua prasasti berikutnya, yaitu prasasti Trunyan AI dan Trunyan B, khususnya pada lembaran Ib-IIa.4, pada dasarnya sama. Keduanya mengenai izin yang diberikan kepada penduduk desa Turunan untuk mendirikan bangunan suci bagi Bhatara Da Tonta.
Selanjutnya, penduduk wajib membayar iuran dan melaksanakan
kewajiban-kewajiban tertentu untuk keperluan bangunan suci itu. Sebagai
imbangannya, mereka dibebaskan dari pajak-pajak serta kewajiban-kewajian
tertentu yang lazim ditunaikan bagi raja.
Pada bagian lain prasasti Trunyan AI dinyatakan bahwa jika ada utusan raja melakukan persembahyangan di sana pada bulan Asuji, utusan itu wajib diberikan makanan dan minuman. Prasasti itu menyinggung pula upacara di kuil Guha Mangurug Jalalingga serta kewajiban-kewajiban penduduk desa Hasar, Halang Guras, Pungsu, dan Panumbahan dalam kaitan dengan upacara-upacara di kuil Sang Hyang di Turunan (Bhatara Da Tonta) dan Guha Mangurug Jalalingga.
Bagian lebih lanjut, prasasti Trunyan B antara lain memuat perihal iuran yang wajib dibayar oleh penduduk desa Air Rawang di sebelah timur teluk Danau Batur untuk keperluan upacara Sang Hyang di Turunan. Di sana disebutkan pula bahwa setiap bulan Bhadrawada (Agustus-September), Bhatara Da Tonta
harus disucikan dengan air Danau Batur, kemudian dibedaki kuning, serta
dihiasi dengan cincin bepermata dan anting-anting. Petugas yang
berwenang melaksanakan hal-hal itu adalah Sahayan Padang dari desa Air Rawang. Pada bagian akhir prasasti Trunyan B terbaca kalimat kutukan yang ringkas (Goris, 1954a : 58-59).
Prasasti Pura Kehen A berkenaan dengan bangunan suci (dang udu) Hyang Karimama yang berada di desa Simpat Bunut. Bangunan suci itu tampaknya sempat kurang terurus. Dalam rangka memulihkan fungsinya, raja menugasi bhiksu Siwarudra, Anantasuksma, dan Prabhawa serta penduduk desa Simpat Bunut agar melakukan perbaikan serta perluasan (pamasamahyan) pertapaan di Hyang Karimama itu. Batas-batasnya kemudian ditetapkan. Para bhiksu yang berdiam di sana walaupun pada prinsipnya wajib tunduk pada aturan yang berlaku, juga tetap mendapat hak istimewa (previlise), misalnya para bhiksu tidak
boleh diwajibkan ikut bergotong royong mengangkut kayu dan bambu, tidak
boleh dilibatkan dalam masalah-masalah jual beli, pemungutan pajak, dan
pencelupan benang. Dalam prasasti itu juga ditentukan bahwa pertapaan
di Hyang Karimama dibolehkan memiliki cabang di desa lain, asalkan tidak lebih dari 20 buah (Goris, 1954a : 60-61).
Penguasa
tertinggi pada periode Singhamandawa memberikan perhatian sangat besar
terhadap bidang spiritual keagamaan. Hal itu dapat diketahui antara lain
berdasarkan isi kelima prasasti yang telah dibicarakan dan isi prasasti Gobleg, Pura Desa I yang berangka tahun 836 Saka. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa bangunan suci di Bukittunggal yang bernama Indrapura, yang berada dalam wilayah desa Air Tabar,
agar diperbaiki dan diperluas sesuai dengan rencana. Raja menugasi
sejumlah tokoh untuk memimpin pelaksanaannya. Prasasti ini juga memuat
aturan pembagian harta warisan dan keringanan dari tugas-tugas tertentu
yang didapat oleh penduduk.
Prasasti Angsri A keadaannya sangat aus. Dari bagian yang terbaca dapat diketahui antara lain nama bangunan suci Hyang Api dan Hyang Tanda. Kedua bangunan suci itu mendapat persembahan bagian harta warisan keluarga yang putus keturunan (Goris, 1954a : 62).
Berdasarkan
hasil pembacaan terhadap prasasti-prasasti yang berasal dari masa Bali
Kuno selanjutnya dapat diketahui dua puluh tokoh raja atau ratu dan
seorang rajapatih yang pernah menduduki pucuk pemerintahan di Bali. Di
antaranya, ada yang memerintah sendiri dan ada pula yang memerintah
bersama-sama dengan tokoh lain, yakni suami, permaisuri, atau ibu
surinya. Urutan pemerintahan mereka secara kronologis dapat dilihat pada
lampiran 1 karya tulis ini dan uraian ringkas mengenai masa
pemerintahan masing-masing pucuk pemerintahan itu disajikan sebagai
berikut.
Nama
raja Bali Kuno yang tercantum pertama kali dalam prasasti adalah Sri
Kesari Warmadewa. Prasasti-prasasti atas nama raja itu, atau yang dapat
diidentifikasikan demikian, adalah prasasti Blanjong (835 Saka),dan prasasti Penempahan,8 dan prasasti Malet Gede (835 Saka)9.
Keadaan ketiga prasasti itu telah aus. Banyak bagiannya tidak terbaca
lagi secara utuh, termasuk nama raja yang disebut di dalamnya. Bagian
nama raja yang terbaca pada isi A.4 prasasti Blanjong adalah ... sri kesari ... sedangkan pada sisi B.13 terbaca ... sri kesariwarmma (dewa) (Goris, 1954a : 64-65). Bagian nama raja dalam prasasti Penempahan yang masih terbaca adalah ... sri ke ... dan pada prasasti Malet Gede berbunyi ... sri kaesari ... (Kartoatmodjo, 1977 : 150-151 ; cf. Damais, 1959 : 964).
Dalam jajaran raja-raja Bali Kuno, Sri Kesari Warmadewa merupakan raja pertama yang menggunakan unsur warmadewa sebagai bagian gelarnya. Berdasarkan kenyataan itu maka dapat dikatakan bahwa Sri Kesari merupakan cikal-bakal dinasti (vamsakara)
Warmadewa di Bali. Raja-raja dari dinasti ini, sebagaimana akan
diketahui, berkuasa di Bali paling sedikit selama satu abad, yakni sejak
awal abad X sampai dengan awal abad XI.
Hal
lain yang menarik perhatian ialah ketiga prasasti tersebut pada
hakikatnya menggambarkan kemenangan raja Sri Kesari terhadap
musuh-musuhnya. Sebagai akibat prasasti-prasasti itu telah aus, hanya
dua di antara musuh-musuh itu dapat diketahui, yakni di Gurun dan di Suwal (Goris, 1954a : 65). Perlu ditambahkan bahwa lokasi Gurun dan Suwal sampai dewasa ini belum diketahui secara pasti. Di antara para ahli, ada yang berpendapat bahwa Gurun mungkin sama dengan Lombok dewasa ini. Pendapat lain menyatakan bahwa Gurun mungkin identik dengan Nusa Penida (Goris, 1954b : 243 ; cf. Kartoatmodjo, 1977 : 152).
Raja
Sri Kesari Warmadewa diganti oleh Sang Ratu Sri Ugrasena. Raja Ugrasena
mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942). Masa
pemerintahan raja ini hampir sezaman dengan masa pemerintahan Pu Sindok
di Jawa Timur (Goris, 1948 : 5). Ada sebelas prasasti, semuanya
berbahasa Bali Kuno, dikeluarkan oleh raja Ugrasena, yakni prasasti-prasasti Banjar Kayang (837 Saka), prasasti Les, Pura Bale Agung (837 Saka), Babahan I (839 Saka), Sembiran AI (844 Saka), Pengotan AI (846 Saka), Batunya AI (855 Ska), Dausa, Pura Bukit Indrakila AI (857 Saka), Serai AI (858 Saka), Dausa, Pura Bukit Indrakila BI (864 Saka), prasasti Tamblingan Pura Endek I (-), dan Gobleg, Pura Batur A (Goris, 1954a : 8-11 ; 63-72).
Berdasarkan
prasasti-prasasti itu dapat diketahui sejumlah kebijakan penting
dilakukan oleh raja Ugrasena. Beberapa di antaranya dikemukakan berikut
ini. Keringanan dalam pembayaran pajak diberikan kepada desa Sadungan dan Julah, karena desa itu belum pulih benar dari kerusakan akibat diserang perampok. Dengan alasan sama, bahkan desa Kundungan dan Silihan
dibebaskan dari kewajiban bergotong royong untuk raja. Selain itu, raja
juga berkenan menyelesaikan perselisihan antara para wajib pajak di
wilayah perburuan dengan pegawai pemungut pajak, yakni dengan menetapkan
kembali secara jelas jenis dan besar pajak yang mesti dibayar oleh
penduduk (Goris, 1954a : 63-68 ; 70-71).
Berkaitan erat dengan aspek kehidupan beragama, Raja Ugrasena memberikan izin kepada penduduk desa Haran dan Parcanigayan untuk memperluas pasanggrahan dan bangunan suci Hyang Api yang terletak di desanya masing-masing. Keberadaan penduduk desa Tamblingan sebagai jumpung Waisnawa ”sekte (?) Waisnawa”, serta kaitannya dengan bangunan suci Hyang Tahinuni, juga mendapat perhatian raja. Prasasti Gobleg, Pura Batur A
yang memuat hal itu teksnya tidak lengkap sehingga rincian ketetapan
mengenai sekte tersebut tidak sepenuhnya dapat diketahui (Goris, 1954a :
68-72).
Dapat ditambahkan bahwa pada tahun 839 Saka (917), sebagaimana tercatat dalam prasasti Babahan I yang tersimpan di desa Babahan (Tabanan), raja Ugrasena mengadakan perjalanan ke Buwunan (sekarang Bubunan) dan ke Songan 10. Dalam kunjungan itu, raja memberikan izin kepada kakek (pitamaha), di Buwunan dan di Songan
melaksanakan upacara bagi orang yang mati secara tidak wajar, jika
saatnya telah tiba. Baginda juga menetapkan batas-batas wilayah
pertapaan yang terletak di bagian puncak bukit Pttung.
Setelah mangkat, diduga Ugrasena dicandikan di Air Madatu dan dikenal dengan sebutan sang ratu siddha dewata sang lumah di air madatu (cf.
Goris, 1954b : 211). Epitet ini terbaca dalam prasasti Raja Tabanendra
Warmadewa yang ditemukan di desa Kintamani. Dalam prasasti itu
dikatakan bahwa raja Tabanendra, bersama-sama dengan permaisurinya,
menyuruh sejumlah tokoh agar memugar atau memperluas pasanggarahan di Air Mih yang dibangun pada masa pemerintahan raja dengan epitet tersebut di atas (Goris, 1954a : 76).
Jika
epitet itu memang benar untuk Raja Ugrasena setelah mangkat, maka
tindakan raja dan permaisurinya tersebut di atas menunjukkan betapa
hormatnya mereka kepada Ugrasena. Lebih lanjut, hal itu dapat digunakan
sebagai dasar pendapat yang menyatakan bahwa walaupun Sang Ratu Sri
Ugrasena tidak secara eksplisit menggunakan bagian gelar warmadewa, baginda pun tergolong anggota dinasti Warmadewa.
Pada
periode ini diketahui sejumlah raja yang pernah memerintah Bali, tetapi
belum ditemukan nama ibu kota yang menjadi pusat pemerintahannya. Raja
pertama pada periode ini adalah Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa
yang memerintah bersama-sama dengan permaisurinya, yaitu Sri Subhadrika
Dharmadewi, tahun 877-889 Saka (955-967) Mereka menggantikan raja
Ugrasena.
Ada empat prasasti yang memuat pasangan gelar suami-istri itu, yakni prasasti-prasasti Manik Liu AI (877 Saka), Manik Liu BI (877 Saka), Manik Liu C (877 Saka), dan Kintamani A
(899 Saka) 11. Keempat prassati itu tidak lengkap. Tiga yang pertama,
selain ditemukan di tempat yang sama juga berkenaan dengan masalah pokok
yang sama, yaitu pemberian izin oleh raja kepada Samgat Juru Mangjahit Kajang, dan anak bandut yang berdiam di desa Pakuwwan dan Talun (Goris, 1954a : 74-75). Mereka dibebaskan dari tugas bergotong royong dan pelbagai pajak, kecuali pajak rot. Isi pokok prasasti Kintamani A, yang menurut Goris berkaitan dengan prasasti Kintamani B,
telah disinggung di depan, yakni berkenaan dengan perintah Raja
Tabanendra Warmadewa kepada sejumlah tokoh agar menangani pemnugaran
pesanggarahan di Air Mih. Dalam Prasasti Kintamani B disebutkan pula bahwa pasanggrahan di Dharmarupa merupakan cabang pasanggrahan di Air Mih (Goris, 1954a : 77).
Raja berikutnya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja ini dapat diketahui dari sebuah prasasti, yaitu prasasti Manukaya
(882 Saka) (Stutterheim, 1929 : 68-69 ; Goris 1954a : 75-76 ; Damais,
1955 : 224-225). Dalam prasasti itu dimuat perintah raja untuk memugar Tirtha di (Air) Mpul
(sekarang Tirtha Empul di Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami
kerusakan akibat derasnya aliran air. Setelah pemugaran itu, diharapkan
kedua telaga yang ada menjadi kuat dan bertahan lama.
Hal yang menarik perhatian ialah ternyata prasasti Manukaya
terbit pada masa pemerintahan Tabanendra Warmadewa bersama
permaisurinya. Masalah ini belum dapat dijelaskan dengan bukti-bukti
yang akurat. Berkenaan dengan hal itu, L.C. Damais menegaskan bahwa
pembacaan angka tahun 882 Saka sudah benar (Goris, 1965 : 180). Untuk
sementara, yang dapat dikemukakan di sini ialah terbitnya “prasasti
sisipan” itu tampaknya berlangsung dalam suasana damai, dalam arti tidak
dilatarbelakangi oleh sifat permusuhan, peristiwa kudeta, atau
semacamnya. Dugaan itu dikemukakan karena belum terdapat petunjuk adanya
perselisihan internal di antara anggota dinasti yang telah berkuasa.
Pada tahun 897 Saka muncul raja yang bergelar Sang Ratu Sri Janasadhu Warmadewa. Gelar ini terbaca dalam prasasti Sembiran AII
(897 Saka) (Brandes, 1889 : 46-48 ; Goris, 1954a : 77-79 ; Damais, 1955
: 226). Itulah satu-satunya prasasti atas nama baginda. Prasasti
tersebut kembali mengenai desa Julah kuno. Menurut prasasti itu, penduduk Julah
yang kembali dari pengungsiannya diizinkan memperbaharui isi
prasastinya. Selanjutnya, ketentuan dalam prasasti itu harus dipatuhi
dan jangan diubah-ubah lagi. Dalam prasasti itu antara lain ditetapkan
bahwa jika ada kuil, pekuburan, pancuran, permandian, prasada, dan jalan
raya di wilayah itu mengalami kerusakan, supaya diperbaiki serta
dibiayai secara bergilir oleh penduduk desa Julah, Indrapura, Buwundalm, dan Hiliran. Jika pertapaan di Dharmakuta diserang oleh perampok, supaya seluruh penduduk Julah keluar rumah lengkap dengan senjata untuk menolong pertapaan itu (kapwa ta ya turun tangga saha sanjata, tulungen to patapan di dharmakuta) (Goris, 1954a : 78-79).
Raja
Janasadhu Warmadewa diganti oleh Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi
Satu-satunya prasasti sebagai sumber sejarah ratu ini adalah prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Saka) (Goris, 1954a : 79-80 ; Damais, 1955 : 226-227). Ratu ini memberi izin kepada penduduk desa Air Tabar, yang merupakan pamong kuil Indrapura di Bukittunggal di wilayah desa Air Tabar, untuk memperbaharui prasastinya (mabharin pandaksayan na).
Ratu
ini tidak menggunakan identitas dinasti Warmadewa. Keadaan ini
mengundang timbulnya sejumlah pendapat. Berdasarkan terpakainya kata Sri
Wijaya dalam gelar sang ratu, P.V. van Stein Callenfels (1924 : 30)
berpendapat bahwa kemungkinan ratu itu berasal dari kerajaan Sriwijaya
di Sumatra. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan adanya perluasan
kekuasaan Sriwijaya ke Bali. Pada mulanya, Goris menyetujui pendapat
itu.
Pada
tahun 1950, dalam artikelnya yang berjudul ”De Stamboom van Erlangga”,
J.L. Moens menghubungkan ratu itu dengan kerajaan Jawa Timur (1950 :
138). Damais secara lebih tegas mengemukakan bahwa ratu itu adalah putri
Pu Sindok yang bernama Sri Isana Tunggawijaya.12 Pendapatnya itu didasarkan pada adanya jabatan-jabatan wadihati, makudur, dan pangkaja
yang disebutkan dalam prasasti ratu itu, di samping sejumlah jabatan
tinggi yang telah lazim di Bali. Ketiga jabatan itu adalah khas Jawa
(1952 : 85-86 ; 1955 : 227).
Ratu
Sri Wijaya Mahadewi diduga mangkat pada tahun 911 Saka (989). Tampuk
pemerintahan di Bali kemudian dipegang oleh pasangan Sri
Gunapriyadharmapatni dan Sri Dharmodayana Warmadewa.
Dalam prasasti Pucangan
dikatakan bahwa Gunapriyadharmapatni, yang semula bernama
Mahendradatta, adalah putri Sri Makutawangsawardhana, cucu perempuan
pasangan Sri Isana Tunggawijaya dan Sri Lokapala, atau cicit Pu Sindok.
Mahendradatta kemudian nikah dengannya adalah Udayana, seorang pangeran
yang lahir dari keluarga raja (dinasti) yang masyhur. Dari pasangan itu
lahirlah Erlangga atau Airlangga (Kern, 1917 : 93). Berdasarkan
keterangan itu, dapat diketahui bahwa Mahendradatta adalah seorang putri
berasal dari Jawa Timur, keturunan dinasti Isana. Jika dikaitkan dengan
keterangan dalam prasasti-prasasti Bali tahun 911-923 Saka yang
menyatakan bahwa Sri Gunapriyadarmapatni memerintah bersama-sama dengan
suaminya, yaitu Sri Dharmadoyana Warmadewa, maka dapat diketahui bahwa
tokoh terakhir inilah yang dimaksud dengan Udayana dalam prasasti Pucangan.
Lebih lanjut, yang dimaksud dengan dinasti termasyhur dalam prasasti
itu adalah dinasti Warmadewa. Kendati demikian, masih ada sejumlah
pendapat mengenai asal-usul Udayana.
Menurut
F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri Campa atau Kamboja.
Kekacauan yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970, menyebabkan
sang putri yang dalam keadaan hamil itu melarikan diri ke Jawa dan
melahirkan putranya di sana. Putranya itu adalah Udayana yang kemudian
menikah dengan Mahendradatta (1984 : 554-556 ; 1961 : 96-97). Moens
tidak setuju dengan hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya ”De Stamboom
van Erlangga”yang terbit pada tahun 1950, Moens antara lain mengemukakan
bahwa ada dua tokoh historis Udayana. Pertama, Udayana yang lahir
sebagai akibat hubungan inses antara Isana (Sindok) dengan putri
kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I). Kedua, Udayana yanng
merupakan putra Udayana I sebagai hasil pernikahannya dengan Ratnawati
(selanjutnya disebut Udayana II). Udayana I tetap hidup di Jawa Timur
dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di Jalatunda. Udayana
II dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan
sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Moens juga mengemukakan
bahwa Mahendradatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan
Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua
kalinya dengan Udayana II (1950 : 124). Pada dasarnya, Goris menyetujui
pendapat Moens tentang adanya dua tokoh Udayana, tetapi beliau
menambahkan bahwa Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 913 Saka (991)
sebagai hasil, pernikahan Mahendradatta dengan Udayana yang memerintah
di Bali (1948 : 7 ; 1957 : 19).
Pendapat
Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau kembali. Tadi telah disinggung
bahwa dalam prasasti Pucangan, Mahendradatta dikatakan menikah dengan
Udayana, seorang pangeran dari dinasti termasyhur. Tidak perlu
disangsikan lagi bahwa yang dimaksud dengan Udayana itu adalah Sri
Dharmodayana Warmadewa. Lagi pula, seperti telah diketahui, dinasti
Warmadewa memang telah berkuasa di Bali sejak jauh sebelum Sri
Dharmodayana Warmadewa, yaitu sejak tahun 835 Saka (914) dengan Sri
Kesari Warmadewa sebagai cikal bakalnya. Berdasarkan kenyataan itu,
mudah dipahami bahwa penulis prasasti tidak perlu menegaskan kedinastian
serta daerah asal Udayana yang memang sudah sangat dikenal pada waktu
itu. Sebaliknya, sangat sukar dipahami bahwa seorang asing yang
merupakan putra seorang pelarian, dapat diterima dengan mudah dalam
jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti Warmadewa. Lagi
pula, penerimaan tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti tersebut,
khususnya dari putra mahkota yang mempunyai hak sah atas takhta dan
mahkota kerajaan Bali adalah hal yang mustahil.
Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula keterangan-keterangan dalam prasasti Pucangan
dan sejumlah prasasti Bali yang dikemukakan sebelumnya, dapat berfungsi
sebagai landasan kuat bagi pendapat yang menyatakan bahwa Udayana,
suami Gunapriyadharmapatni, adalah seorang putra Bali dari dinasti
Warmadewa. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom (1956 : 119) yang
dikemukakan jauh sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens.
Telah
dikatakan bahwa praasti-prasasti pasangan ”suami-istri” itu terbit
tahun 911-923 Saka (989-1001). Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Bebetin AI (911 Saka), Serai AII (915 Saka), Buwahan A (916 Saka), Sading A (923 Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II (Goris, 1954a : 80-88).
Prasasti Bebetin A berkenaan dengan desa (banwa) Bharu. Dikatakan bahwa desa itu, yang telah disebutkan dalam prasasti Bebetin A
(818 Saka), kembali mengalami perampokan sehingga kondisi sosial
ekonominya menjadi sangat lemah. Pasangan suami-istri itu pun memberikan
keringanan dalam sejumlah kewajiban kepada desa tersebut. Keringanan
semacam itu diberikan juga kepada penduduk di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru). Hal itu dapat diketahui dari prasasti Serai AII.
Isi prasasti Buwahan A sangat menarik perhatian. Pada intinya, prasasti itu memuat izin pasangan Gunapryadharmapatni dan Udayana kepada desa Bwahan yang terletak di pesisir Danau Batur untuk lepas dari desa induknya, yakni Kdisan. Desa Bwahan, yang tampaknya semakin berkembang, diizinkan berpemerintahan sendiri (sutantra i kawakannya). Segala kewajiban supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Dalam prasasti Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran.
Dalam prasasti itu dikatakan bahwa banyak penduduk desa itu terpaksa
meninggalkan rumah. Hal itu disebabkan oleh tamu-tamu yang datang ke
desa itu berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekacauan. Setelah keadaan
aman, penduduk desa Bantiran disuruh kembali ke desanya. Hak dan kewajibannya diatur dan mereka diizinkan membuka lahan untuk memperluas sawah ladangnya.
Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni prasasti Batur, Pura Abang A
(Goris, 1954a : 88-94 ; Damais, 1955 : 185). Rupanya
Gunapriyadharmapatni mangkat tidak lama sebelum tahun 933 Saka. Prasasti
ini diberikan kepada desa Air Hawang (sekarang desa Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada tahun 933 Saka wakil-wakil desa Air Hawang menghadap raja Udayana dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba,
yaitu Dyah Manjak. Mereka menyampaikan bahwa karena kelemahan kondisi
desanya, penduduk tidak mampu memenuhi pembayaran pajak-pajak serta
cukai-cukai tertentu dan tidak dapat ikut bergotong royong atau kerja
bakti untuk raja. Lebih lanjut, mereka memohon pengurangan atau
keringanan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan (baca : di desa Air Hawang), raja mengutus Dang Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita, Dang Acarya Bhacandra dan Senapati Kuturan,
yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil temuannya kemudian didiskusikan,
dibahas, atau dianalisis dalam sidang paripurna para pejabat tinggi
kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi lebih dari itu. Setelah
segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja menyetujui permohonan
wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks prasasti mengenai proses
persidangan itu berbunyi :
“...tuwulwi
ta sira kabaih mapupul, malapkna kinabehan, tan pingsan pingrwa,
winantah winalik blah, hana pwantuk ning malapkna, an kasinggihan
sapanghyang nikang anak thani, ...” (Goris, 1954a : 89).
Artinya :
“...
kemudian beliau sekalian berkumpul, bersidanng bersama-sama, tidak
sekali dua kali, diperdebatkan dan dibahas, maka tercapailah hasil
persidangan, yakni dipenuhinya hal-hal yang menjadi permohonan penduduk
desa itu, ...”
Selain prasasti-prasasti yang telah disebutkan, masih ada lima buah prasasti singkat (short inscription) yang terbit atau diduga terbit sebelum Udayana turun taktha, yaitu prasasti-prasasti Besakih, Pura Batumadeg (nomor lama 908), Ujung Pura Dalem (nomor lama 357) berangka tahun 932 Saka, Gunung Penulisan A (933 Saka), Gunung Penulisan B, dan Sangsit B (nomor lama 437) berangka tahun 933 Saka (Goris, 1954a : 46, 94, 105-107 ; Damais, 1955 : 229).
Prasasti Besakih, Pura Batu Madeg sesunguhnya berangka tahun 1393 Saka tetapi di dalamnya disebutkan sebuah prasasti lebih tua yang memakai candra sangkala nawasanga-apit-lawang
(929 Saka). Prasasti bertahun 929 Saka itulah yang terbit pada masa
pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Penduduk setempat
menyebut prasasti itu Mpu Bradah, yakni sebutan untuk tokoh Mpu Baradah yang terkenal dalam cerita Calon Arang (Goris, 1965 : 23 ; cf. Poerbatjaraka, 1926 : 115-145).
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu Bradah? Mengenai hal ini, Goris berpendapat bahwa pada tahun 929 Saka Mpu Baradah mengunjungi Bali untuk pertama kali.13 Kunjungan
itu mungkin dalam kaitan dengan (1) kelahiran Marakata, (2) kelahiran
Anak Wungsu, atau kemangkatan Gunapriyadharmapatni. Goris cenderung
berpendapat bahwa Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan putra
bungsunya yaitu Anak Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada
tahun 929 Saka betul-betul mengenai urusan yang sangat penting (Goris,
1957 : 20). Setelah mangkat, Gunapriyadharmapatni dicandikan di Burwan,
dan Udayana yang diduga mangkat tidak lama setelah tahun 933 Saka
dicandikan di Banu Wka.
Mereka diganti oleh Ratu Sri Ajnadewi yang mengeluarkan prasasti Sembiran AIII
pada tahun 938 Saka (Brandes, 1889 : 48-49 ; Damais, 1955 : 229-230).
Sampai kini belum terdapat petunjuk jelas mengenai hubungan ratu ini
dengan pendahulunya, begitu pula hubungannya dengan tokoh lain. Dalam
mengupayakan penjelasannya, akan dilihat kembali bagian berbahasa Jawa
Kuno pada prasasti Pucangan. Dari bagian itu diketahui
bahwa pada tahun 938 Saka (1016) kerajaan yang diperintah Dharmawangsa
Teguh di Jawa Timur diserang oleh raja Wurawari sehingga mengalami
malapetaka mahahebat (pralaya). Serangan itu bertepatan
dengan saat diselenggarakan upacara pernikahan Airlangga dengan putri
Dharmawangsa Teguh. Dikatakan lebih lanjut bahwa Jawa pada waktu itu
bagaikan lautan api dan banyak orang terkemuka gugur dalam peristiwa
tersebut. Airlangga, yang berumur 16 tahun, dapat menyelamatkan diri
dengan lari ke hutan diiringi pengikutnya yang sangat setia, yaitu
Narottama (Sumadio dkk., 1990 : 173).
Tahun pralaya
itu ternyata bertepatan dengan munculnya Ratu Sri Sang Ajnadewi sebagai
pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Berdasarkan kenyataan ini, dapat
dikembangkan uraian hipotetik sebagai berikut. Mudah dipahami bahwa
ketika dilangsungkan upacara pernikahan Airlangga dengan putri
Dharmawangsa Teguh, Udayana sebagai seorang ayah, yakni ayah Airlangga,
hadir di keraton Jawa Timur. Bahkan mustahil baginda ikut gugur dalam
peristiwa pralaya yang telah disebutkan, dan hal itu
sekaligus mengakibatkan taktha kerajaan Bali lowong secara tiba-tiba.
Putra mahkota Bali pada waktu itu, yaitu Marakata, kemungkinan masih
terlalu muda untuk dinobatkan sebagai raja. Pendapat itu didasarkan atas
pertimbangan bahwa jika Airlangga pada tahun 1016 baru berumur 16
tahun, maka Marakata sebagai adiknya, setua-tuanya baru berumur 15
tahun, bahkan kenyataannya boleh jadi lebih muda dari itu.
Untuk
memecahkan masalah lowongnya takhta kerajaan Bali, keluarga istana
rupanya sepakat mengangkat seorang wali, yaitu Ratu Sri Sang Ajnadewi.
Perwalian itu berlangsung sampai tidak lama sebelum Marakata
mengeluarkan prasasti yang pertama pada tahun 944 Saka (1022). Apakah
wali itu berasal dari Jawa Timur ataukah keluarga istana Bali? Memang
dapat dipahami, jika wali itu berasal dari dan diangkat oleh keluarga
istana Jawa Timur, namun kemungkinan itu sangat kecil. Kemungkinan itu
dikatakan demikian karena mudah pula dipahami bahwa kondisi kerajaan di
Jawa Timur pada waktu itu masih sangat lemah, situasinya masih sangat
kacau, bahkan mungkin masih dalam suasana berkabung. Jika dugaan itu
benar, maka kemungkinan lain yang dapat dikemukakan ialah Sri Sang
Ajnadewi adalah anggota dinasti yang sedang berkuasa di Bali. Mungkin
bibi Marakata atau tokoh lain yang memang pantas menduduki posisi
sebagai wali.
Prasasti Sembiran A III yang dikeluarkan oleh ratu itu kembali mengenai desa Julah.
Dikatakan bahwa desa ini diserang lagi oleh penjahat. Banyak penduduk
mati, ditawan musuh, atau mengungsi ke desa lain. Penduduk semula
sebanyak 300 kepala keluarga, tersisa hanya 50 kepala keluarga. Oleh
karena itu, sang ratu pun memberikan keringanan kepada mereka dalam hal
kerja gotong royong dan pembayaran beberapa jenis drwyahaji. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan bangunan sakral di Dharmakuta pun dikurangi pula (Goris, 1954a : 95). Dapat ditambahkan bahwa secara harfiah drwyahaji berarti
“milik raja”(Zoetmulder, 1982a : 416). Akan tetapi, menurut konteksnya
istilah itu bermakna pendapatan kerajaan yang berasal dari pajak, cukai,
denda, iuran, dan sebagainya, yang kemudian digunakan untuk membiayai
berbagai pengeluaran kerajaan.
Telah
dikatakan bahwa Marakata, gelar lengkapnya Paduka Haji Sri
Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa, mengeluarkan
prasastinya yang pertama yakni prasasti Batuan, pada tahun 944 Saka. Prasasti-prasasti lain yang memuat gelar raja itu ialah prasasti Sawan A I = Bila I (nomor lama 353) yang berangka tahun 945 Saka, Tengkulak A (945 Saka), dan Bwahan B (947 Saka)14.
Prasasti pertama diberikan kepada penduduk desa Baturan
(sekarang Batuan di Kabupaten Gianyar). Wakil-wakil desa itu menghadap
raja serta menyampaikan bahwa semenjak masa pemerintahan raja almarhum
yang dicandikan di Er Wka (yang dimaksud adalah Udayana), penduduk desa Baturan ditugasi memelihara kebun raja di Er Paku dan kuil di desa Baturan.
Raja Marakata memaklumi betapa beratnya tugas-tugas itu, maka sebagai
imbalannya, penduduk pun dibebaskan dari pajak-pajak tertentu dan
diizinkan lepas dari desa Sukhawati (sekarang Sukawati).
Isi pokok prasasti Sawan A I pada dasarnya sama dengan isi pokok prasasti Batuan, yang permohonan penduduk mengenai pengurangan beban drwyahaji dan tugas bergotong royong. Permohonan itu diajukan wakil-wakil desa Bila
karena merasa cukup berat memenuhi kewajiban-kewajiban semula sebagai
akibat warganya berkurang secara drastis, yakni dari semula 50 kepala
keluarga menjadi hanya 10 kepala keluarga. Permohonan itu disetujui oleh
raja Marakata. Prasasti Sawan A I juga memuat ketetapan
tentang pembagian harta warisan, perbuatan-perbuatan yang tidak boleh
dilakukan oleh pegawai kerajaan yang berkunjung ke desa Bila, dan kewajiban penduduk bagi pegawai itu.
Prasasti Tengkulak A menyatakan bahwa pada tahun 945 Saka, wakil-wakil desa Songan Tambahan
menyampaikan kepada raja Marakata bahwa sejak masa pemerintahan
Gunapriyadharmapatni dan Udayana Warmadewa, mereka ditugasi
menyelenggarakan atau memelihara katyagan (asrama pendeta) Amarawati di tepi sungai Pakrisan.
Sejak titah turun, penduduk desa itu belum pernah diberikan prasasti
yang memuat rincian kewajiban serta hak mereka. Supaya segala
sesuatunya menjadi jelas, sehingga mereka dapat meneruskan pengabdian
kepada raja dan ratu almarhum, begitu pula kepada raja yang tengah
memerintah, maka mereka memohon kepada Raja Marakata agar berkenaan
menganugerahkan prasasti kepada mereka. Raja pun memenuhi permohonan
itu. Dalam prasasti itu ditegaskan bahwa penduduk supaya tetap
melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana sediakala (magehakna sapurbwastitinya nguni) (Ginarsa, 1961 : 5).
Berdasarkan prasasti Buwahan B (947 Saka) dapat diketahui bahwa penduduk desa Bwahan kekurangan
lahan tempat menggembalakan ternak dan mencari kayu api. Wakil-wakil
desa itu memohon agar diizinkan membeli sebidang hutan dekat desanya,
yang semula digunakan sebagai tempat berburu oleh raja. Dikatakan bahwa
raja mengabulkan permohonan tersebut. Lebih lanjut ditegaskan, agar Nayakan Buru (pejabat yang mengurusi masalah perburuan) tidak mengganggu gugat kegiatan penduduk di wilayah yang telah dibeli itu.
Masih ada sejumlah prasasti singkat yang terbit pada masa pemerintahan raja Marakata, yaitu prasasti-prasasti Kesian, Pura Sibi I (945 Saka), Kesian, Pura Sibi II (948 Saka), Kesian Pura Sibi III (948 Saka), Kesian, Pura Sibi IV dan Bangli, Pura Kehen B (nomor semula 356) tanpa angka tahun.15 Oleh
karena data historis dalam masing-masing prasasti itu relatif kurang
berarti bagi penggambaran aktivitas atau kebijakan raja Marakata maka
pembicaraan prasasti-prasasti itu tidak diperpanjang di sini.
Dalam gelar Marakata yang telah disebutkan di depan, tidak terdapat unsur warmadewa tetapi ada unsur dharmawangsa
yang mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur.
Berdasarkan kenyataan itu, apakah berarti Marakata tidak termasuk
anggota dinasti Warmadewa? Keraguan itu menjadi hilang dengan adanya
keterangan dalam prasasti Tengkulak A. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa Marakata adalah putra raja Almarhum yang dicandikan di Air Wka
(yakni Sri Dharmodayana Warmadewa). Keterangan itu juga berarti bahwa
Marakata tergolong anggota dinasti Warmadewa. Bagian teks prasasti
mengenai hal itu berbunyi :
“...
mangkai pwan menget ikanag karaman i songan tambahan sapanambahan, an
wka haji dewata sang lumah ring air wka sajalu stri, prasiddha
kumalilirig kulit kaki, siniwi ring desa banten molih tekang karaman
maprarthana ri bhatara, yata hetunya papulung rahi manambah i paduka
haji, umajaraken sakramanya nguni mwang pagehnyanugraha haji dewata, ...
(Ib.5-IÏa.2)” (Ginarsa, 1961 : 4).
Artinya :
”... kini ingatlah para tetua desa Songan Tambahan yang terikat dalam satu kesatuan pemujaan, bahwa putra raja almarhum yang icandikan di Air Wka beserta permaisurinya, telah berhasil mewarisi (takhta kerajaan) dari garis keturunan, laki-laki, dimuliakan di wilayah Banten (Bali). Supaya mereka dapat melanjutkan pengabdian kepada betara (di Air Wka)
maka mereka bersama-sama menghadap paduka raja, mempermaklumkan segala
sesuatu yang mereka laksanakan pada masa-masa lalu, dalam upaya
mengukuhkan anugrah (baca : titah) raja yang telah almarhum,...”
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa menurut garis keturunan dari pihak ayah,
Marakata termasuk dinasti Warmadewa. Akan tetapi, kenyataannya unsur warmadewa tidak digunakan dalam gelar raja itu. Sebaliknya dalam gelar itu terdapat unsur dharmawangsa,
yang sebagaimana telah dikatakan, mengingatkan kepada tokoh
Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur. Keadaan demikian dapat dipahami, jika
diingat bahwa ibu suri Marakata, yakni Gunariyadharmapatni adalah putri
Jawa Timur. Bukan mustahil Gunariyadharmapatni bersaudara kandung dengan
Dharmawangsa Teguh, atau paling tidak berkerabat dekat. Unsur dharma yang terdapat dalam nama masing-masing tokoh itu dapat digunakan sebagai faktor penunjang pendapat di atas.
Dalam menanggapi gelar Marakata yang tanpa unsur warmadewa,
lebih jauh dapat dikemukakan bahwa hal itu tidak mesti dipandang
sebagai bukti bahwa Marakata mengingkari dirinya termasuk dinasti
Warmadewa. Sebagai putra Udayana, tentu baginda menyadari kedudukannya
dalam dinasti itu. Penggunaan unsur dharmawangsa dalam gelarnya, agaknya hanya masalah pilihan belaka.
Raja
Marakata diganti oleh adiknya, yaitu Anak Wungsu yang memerintah tahun
971-999 Saka (1049-1077). Gelarnya sebagai raja, begitu pula nama kecil
tokoh ini sesungguhnya tidak diketahui secara pasti, kecuali hendak
diyakini bahwa Anak Wungsu juga merupakan nama kecil tokoh itu. Secara
harfiah anak wungsu berarti ”anak bungsu”, jadi hanya
menyatakan urutan kelahiran belaka. Dalam hal ini, tokoh itu adalah anak
bungsu suami-istri Udayana dan Gunapriyadharmapatni. Pernyataan
mengenai hal tersebut terbaca dalam sejumlah prasasti yang dikeluarkan
oleh Anak Wungsu. Dalam prasasti Pandak Bandung (933 Saka) misalnya, terbaca bagian yang berbunyi ”... ”paduka haji, anak wungsunirakalih bhatari lumah i burwan, bhatara lumah i banu wka,
...”(Stein Callenfels, 1926 : 14), yang artinya ”... paduka raja anak
bungsu baginda berdua (suami-istri), yaitu ratu yang dicandikan di Burwan dan raja yang dicandikan di Banu Wka, ...”
Dikaitkan dengan keterangan dalam prasasti Pucangan
yang menyatakan bahwa Airlangga adalah putra suami-istri tersebut di
atas maka dapat disimpulkan bahwa suami-istri itu berputra tiga orang,
yakni Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Hal ini juga berarti bahwa
Airlangga dan Anak Wungsu, seperti halnya Marakata, termasuk dinasti
Warmadewa pula.
Raja
Anak Wungsu memerintah Bali cukup lama, bahkan terlama di antara
raja-raja pada zaman Bali Kuno, yakni selama tidak kurang dari 28
tahun. Ada 31 buah prasasti dikeluarkannya, atau yang dapat
diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa
pemerintahannya. Sembilan belas di antara prasasti-prasasti itu memuat
”gelar” seperti disebutkan, yang lainnya tanpa muatan ”gelar” , baik
karena prasasti yang bersangkutan tidak lengkap atau karena tergolong
prasasti singkat. Masa pemerintahannya yang lama serta prasasti yang
dikeluarkan cukup banyak dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa raja itu
memerintah dengan bijaksana dan kerajaan dalam keadaan stabil. Dugaan
itu ditunjang pula oleh sejumlah ungkapan yang terbaca dalam prasasti,
yang pada intinya menyatakan kepekaan serta kearifan Anak Wungsu dalam
melaksanakan pemerintahan.
Dalam beberapa prasasti dikatakan bahwa Anak Wungsu adalah raja yang penuh belas kasihan (gong karunya pwa pinaka swabhawa paduka haji) dan selalu memikirkan kesempurnaan serta kemakmuran kerajaan yang diperintah atau dilindunginya (nityasa kumingking sakaripurnnakna nikanang rat rinaksanira atau nityasa kumingking ... subhiksa nikang rat rinaksanira). Oleh karena Anak Wugsu sangat menjunjung tinggi serta mengagungkan ajaran agama atai kebajikan (sangka ri kadharmestan paduka haji) maka baginda diibaratkan sebagai penjelmaan dharma (kebajikan) (saksat dharmam urti/saksat dharmatmajam urti/tuhutuhu dharmam urti) yang senantiasa memikirkan kesempurnaan atau terpeliharanya bangunan-bangunan suci keagamaan (nityasa kumingking sakaripurnnakna sang hyang sarbwa dharma) (cf.Sumadio
dkk., 1990 : 301-302). Dapat dimengerti bahwa ungkapan-ungkapan itu
mungkin bersifat hiperbolis, namun unsur kebenaran yang terkandung di
dalamnya, yakni bagian yang bersifat realistis, patut mendapat
perhatian yang wajar.
Telah
dikatakan bahwa ada 31 buah prasasti berasal dari masa pemerintahan
Raja Anak Wungsu. Jika isi pokok prasasti-prasasti itu diulas satu per
satu, walaupun secara ringkas, maka akan menghasilkan uraian panjang
yang dalam beberapa hal dapat bersifat pengulangan. Untuk menghindari
hal itu, di bawah ini disajikan klasifikasi prasasti-prasasti itu
berdasarkan sambandha-nya atau alasan yang
melatarbelakangi dikeluarkannya prasasti yang bersangkutan. Ada enam
alasan yang telah diketahui, yakni sebagai berikut.
- Adanya permohonan penduduk, dengan perantara wakil-wakilnya, agar prasasti semula yang berupa ripta 16 diubah menjadi prasasti tembaga (tampraprasasti). Permohonan demikian berasal dari wakil-wakil penduduk desa (karaman) Turunan, Cintamani, Batwan, Pa (r) canigayan, Julah, para wajib pajak (anak mabwathaji), di Silihan dan Landungan, warga desa yang bertugas menjahit pakaian (mangjahit kajang) di Buyan, Anggas, serta Taryungan, dan wakil-wakil penduduk desa Bila.17
- Adanya permohonan membuka lahan baru untuk dijadikan perdikan (sima). Permohonan semacam itu diajukan oleh wakil-wakil desa Lutungan, tokoh-tokoh pendiri (purusakara) subak Rawas, dan wakil-wakil desa Bwah.18
- Adanya pejabat memungut rwyahaji
melebihi ketentuan yang tercantum dalam prasasti. Hal ini diketahui
dari laporan wakil-wakil pajak di daerah perburuan. Dikatakan bahwa para
pemimpin dalam bidang-bidang tertentu (nayaka) dan para pengawas (caksu paracaksu)
melakukan pungutan melebihi ketentuan dalam prasasti yang dianugrahkan
raja almarhum. Wakil-wakil penduduk memohon agar masalah itu diluruskan
oleh Raja Anak Wungsu. 19
- Adanya permohonan agar ketetapan yang tercantum dalam prasasti semula ditambahi atau dilengkapi. Wakil-wkail penduduk desa Bharu (banwa Bharu) mengajukan permohonan ini dengan tujuan supaya kewajiban dan hak mereka menjadi lebih jelas.26
- Adanya permohonan agar penduduk dianugrahi prasasti sebagai pegangan pelaksanaan hak dan kewajiban. Penduduk desa (karaman) Sukhapura telah sejak lama dituasi menyelenggarakan sebuah kompleks percandian (sanghyang dharma),
tetapi belum dianugrahi prasasti. Supaya tugas-tugas mereka jelas,
maka mereka memohon agar Raja Anak Wungsu berkenaan mencantumkan
dalam sebuah prasasti.27
- Adanya
permohonan agar penduduk lazim menghaturkan bahan-bahan mentah untuk
keperluan upacara dan menjamu pejabat atau petugas tertentu. Permohonan
ini diajukan oleh wakil-wakil desa Gurguran karena mereka kekurangan tenaga untuk memasak bagi keperluan-keperluan tersebut di atas.22
Dengan
singkat dapat dikatakan bahwa semua permohonan tersebut di atas
dikabulkan oleh Raja Anak Wungsu, setelah melalui tahapan pertimbangan
serta pembahasan yang seksama. Dalam prasasti yang bersangkutan
dicantumkan pula ketetapan mengenai berbagai aspek kehidupan, misalnya
aspek sosial ekonomi, sosial budaya, dan keagamaan.
Raja
Anak Wungsu diganti oleh Sri Walaprabhu yang memerintah tahun 1001-1010
Saka ( 1078-1088). Gelar lengkap raja ini berbunyi Sri Maharaja Sri
Walaprabhu, terbaca dalam prasasti Babahan II (nomor lama 501). Goris menduga Prasasti Ababi A (nomor lama 447) dan Klandis
(nomor lama 448) adalah juga dikeluarkan oleh raja Walaprabhu (1954a :
26 ; 1965 : 33). Perlu diperhatikan bahwa raja-raja Bali Kuno, raja
inilah yang pertama menggunakan gelar maharaja setelah ratu Sri Wijaya Mahadewi yang sudah dibicarakan di depan.
Aktivitas pemerintahan raja ini dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut.
Dalam prasasti Klandis dinyatakan bahwa raja Walaprabhu mengizinkan desa Pakwan lepas dari desa Bangkala tetapi harus tetap menunaikan pembayaran drwyahaji sebagaimana
sediakala. Betapa keagungan wibawa raja itu dapat diketahui dari
ucapan-ucapan yang menggambarkan bahwa baginda bagaikan perwujudan dharma (kebajikan) yang melindungi dunia (saksat niran dharmmatmajam urti jagatpaloka), sebagai tempat rakyat berlindung (saranasraya ring praja), dan laksana satu-satunya payung yang meneduhi seluruh wilayah Pulau Bali (pinakekachatra ning balidwipamandala) (Tuuk dan Brandes, 1885 : 619-624).
Prasasti Ababi A dianugerahkan kepada karaman i Hara Babi sedangkan prasasti Babahan II, seperti halnyan prasasti Babahan I, berkenaan dengan dharma i ptung. Kedua prasasti itu tidak lengkap sehingga data sejarah yang dapat diketahui sangat sedikit.
Setelah
Sri Walaprabhu, yang naik takhta kerajaan Bali adalah Paduka Sri
Maharaja Sri Sakalendukirana Isana Gunadharma Laksmidhara
Wijayotunggadewi. Gelar ini terbaca dalam prasasti-prasasti : Pengotan B I (1010 Saka), dan Pengotan B II (1023 Saka). 23
Goris, dalam membahas gelar yang cukup panjang itu, mengemukakan hal-hal berikut.
- Indukirana = cahaya bulan purnama
- Guna-dharmma = turunan dari Gunapriyadharmapatni, yakni ibu Airlangga
- Hendak mengaku Wijaya = turunan raja Palembang (Sri Wijaya), dan
- Hendak mengaku Uttungga, yakni turunan raja Sindok di Jawa Timur (1948 : 10).
Tampaknya,
Goris hendak menyatakan bahwa sejumlah unsur gelar itu secara implisit
mengandung muatan politis, khususnya yang dikemukakan dalam tiga butir
terakhir. Konsep dasar jalan pikiran Goris kiranya dapat diterima,
tetapi secara operasional menghubungkan unsur wijaya
dengan kerajaan Sriwijaya di Palembang, sebagaimana dinyatakan dalam
butir ketiga, sepantasnya mendapat pertimbangan lebih cermat. Ada dua
hal akan diajukan sebagai bahan pertimbangan, yang serta merta
menunjukkan kekurangkuatan hipotesis Goris itu.
Pertama,
sampai kini belum terdapat bukti jelas mengenai hubungan politik
kerajaan Bali Kuno dengan Sriwijaya di Sumatra. Kedua, seperti telah
diketahui, unsur Sriwijaya digunakan pula dalam gelar Ratu Sri Wijaya
Mahadewi. Stein Callenfels, yang menghubungkan ratu ini dengan kerajaan
Sriwijaya, telah dibantah oleh Damais. Dengan alasan yang tepat, Damais
mengidentifikasikan bahwa ratu ini adalah putri dari Jawa Timur (1952 :
85-86). Sejalan dengan pendapat Damais itu, dengan mengesampingkan
pendapatnya yang menjurus kepada penyamaan dengan putri Sindok serta
ditunjang isi butir kedua dan keempat kutipan di depan, maka
Sakalendukirana pun tidak perlu dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya
tetapi dengan keluarga besar dinasti Isana di Jawa Timur.
Salah satu kebijakan Ratu Sakalendukirana ialah memberikan prasasti kepada pejabat Nayakanjalan.
Prasasti itu diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan
tugas dan kewajiban oleh penduduk di bawah kewenangan pejabat tersebut.
Sejumlah rincian ketetapan tercantum di dalam prasasti itu, misalnya
mengenai drwyahaji untuk samgat surih, upacara yang dilaksanakan pada waktu bulan mati (pjah lek), dan iuran untuk keperluan upacara besar (mahabanten).
Ratu
Sakalendukirana diganti oleh Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa. Baginda
berkuasa tahun 1037 : 1041 Saka (1115-1119) dengan mengeluarkan prasasti-prasasti Gobleg, Pura Desa III (1037 Saka), Angsari B (1041 Saka), Ababi, Tengkulak D dan Prasasti Tamblingan, Pura Endek III.24 Sebagian di antara prasasti-prasasti itu sudah aus dan tidak terbaca lagi.
Berdasarkan permohonan wakil-wakil pamong dharma (sejenis bangunan suci) di Air Tabar dapat diketahui bahwa raja memberikan izin kepada mereka memperbaharui (umanari) prasastinya. Izin itu diberikan karena prasasti semula yang tertulis pada daun rontal (ripta) telah rusak dan tidak terbaca lagi (awuk munggwing ripta tan wnang winaca).
Selanjutnya, raja menekankan supaya isi prasasti itu dipatuhi oleh
segenap penduduk sebagaimana mestinya. Semua hal itu disebutkan dalam prasasti Gobleg, Pura Desa III.
Pada tahun 1041 Saka, sesuai dengan isi pokok prasasti Angsari B, raja Suradhipa memberikan prasasti kepada dharma di Sukhamerta yang termasuk wilayah desa Latengan. Segala ketetapan yang tercantum di dalamnya supaya ditaati oleh penyelenggara pertapaan di kompleks dharma di Sukhamerta. Pertapaan ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Tabanendra Warmadewa.
Setelah berakhir masa pemerintahan raja Suradhipa, secara beruntun memerintah di Bali empat orang raja yang menggunakan unsur jaya
dalam gelarnya, yaitu (1) Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti tahun
1055-1072 Saka (1133-1150), (2) Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya tahun
1077 Saka (1155), (3) Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus tahun
1099-1103 Saka (1178-1181), dan (4) Paduka Sri Maharaja Haji
Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjaryya
Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka
(1200). Birokrasi pemerintahan keempat raja inilah yang akan dibahas
dalam karya tulis ini. Berdasarkan hal itu maka uraian mengenai
aktivitas atau kebijakan yang dilaksanakan oleh raja-raja tersebut tidak
diperpanjang pada bagian ini.
Hubungan
kekeluargaan di antara mereka tidak diketahui secara pasti. Walaupun
demikian, berdasarkan kelaziman dalam sistem pergantian kepala negara
suatu kerajaan tradisional serta digunakannya unsur jaya
dalam gelar masing-masing raja itu maka kemungkinan besar hubungan
antara raja yang satu dan penggantinya merupakan hubungan ayah dengan
anaknya. Kalau tidak demikian, paling tidak mereka dipertalikan oleh
hubungan kekeluargaan yang sangat dekat.
Perlu
diperhatikan bahwa masa pemerintahan keempat raja itu hampir sezaman
dengan masa pemerintahan raja-raja Jayabhaya (1057 -1079 Saka),
Sarweswara (1081 Saka), Aryeswara (1091-1093 Saka), Kroncaryadhipa atau
Gandra (1103 Saka), Kameswara (1104-1107 Saka), dan Kertajaya atau
Srengga (1116-1127 Saka) di kerajaan Kadiri di Jawa Timur (cf.
Damais, 1952 : 66-71 ; Sumadio dkk., 1990 : 267-272, 306). Hal yang
menarik perhatian pula, sebagaimana telah dikatakan, ialah adanya unsur jaya
digunakan pada keempat gelar raja Bali Kuno dan paling sedikit pada dua
nama raja Kadiri tersebut di atas. Adanya unsur yang sama itu rupanya
bukan semata-mata bersifat kebetulan tetapi juga menunjukkan adanya
hubungan kekerabatan di antara mereka. Kemungkinan adanya hubungan
kekerabatan di antara mereka diperkuat oleh keterangan dalam kitab Bharatayuddha.
Dalam kitab itu dikatakan bahwa raja Jayabhaya sempat meluaskan
kekuasaannya ke Indonesia bagian timur dan tidak ada pulau yang sanggup
mempertahankan diri dari kekuasaan Jayabhaya (Krom, 1956 :154-155 ; Warna dkk., 1990 : 2-3).
Sejak
berakhirnya kekuasaan Ekajayalancana sampai dengan akhir masa Bali
Kuno, masih terjadi lima kali pergantian raja. Secara berturut-turut
dinobatkan Sri Wirama (1126 Saka), Adidewalancana (1182 Saka), Sri
Mahaguru (1246-1247 Saka), Walajayakrrttaningrat (1250 Saka), dan Sri
Astasura Ratnabhumibanten (1259-1265 Saka).
Sri Wirama, lengkapnya Bhatara Parameswara Sri Wirama tercantum dalam prasasti Bangli, Pura Kehen C (1126 Saka) (Stein Callenfels, 1926 : 56-59). Dalam prasasti itu disebutkan tiga tokoh historis sebagai berikut.
- Bhatara
Guru Sri Adikuntitekata, yakni permaisuri raja yang telah almarhum.
Goris juga menyebut tokoh ini dengan Bhatara Guru I (1965 : 43).
- Bhatara Parameswara Sri Wirama, yang juga disebut Sri Bhanadhirajalancana, putra (wija) Sri Adikuntiketana.
- Bhatara Sri Dhanadewiketu, yaitu permaisuri (rajawanita) Sri Dhanadhirajalancana.
Berdasarkan keterangan dalam butir ketiga, khususnya kata rajawanita,
yang digunakan untuk menyebut istri Sri Wirama, maka berarti raja yang
sesungguhnya adalah Bhatara Parameswara Sri Wirama. Kendati demikian,
yang bertitah langsung kepada penduduk adalah Sri Adikuntiketana (Stein
Callenfels, 1926 : 56). Titah tu disampaikan kepada wakil-wakil desa Bangli (karaman i bangli)
sewilayah desanya, agar mereka tidak mengungsi lagi ke desa lain.
Sebaliknya, mereka diperintahkan supaya kembali ke desanya serta
menyelenggarakan asrama (mandala) Lokasarana yang sempat
sepi dan tidak terurus. Dalam prasasti itu dicantumkan pula aturan
tentang hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh penduduk Bangli.
Antara
Raja Sri Wirama (1126 Saka) dan raja berikutnya, yaitu Bhatara
Parameswara Hyang ning Hyang Adidewalancana (1182 Saka) terdapat masa
kosong (power vacuum) selama tidak kurang dari 56 tahun. Belum terdapat petunjuk yang jelas mengapa hal itu terjadi.
Tidak banyak dapat dikemukakan mengenai raja Adidewalancana. Baginda mengeluarkan sebuah prasasti, yaitu prasastiBulihan B (1182 Saka), yang dianugrahkan kepada wakil-wakil desa Bulihan (karaman i bulihan) (Goris, 1954a : 41-42). Selain itu beliau juga mengeluarkan prasasti Pangsan yang dianugrahkan kepada pariman i nungnung.
Setelah masa pemerintahan raja Adidewalancana, terdapat lagi masa tanpa raja
selama lebih kurang 64 tahun, yakni tahun 1182-1246 Saka (1260-1324).
Pada periode itu terbit hanya dua buah prasasti, yaitu prasasti Pengotan E (1218 Saka) dan Sukawana D (1222 Saka), atas nama Kbo Parud (putra Ken Demung Sasabungalan). Tokoh itu berkedudukan sebagai rajapatih,
bukan sebagai raja (Goris, 1948 : 11 ; 1954a : 42). Keadaan ini
kemungkinan besar ada kaitannya dengan keterangan yang dapat disimak 32
dari isi pupuh 42 bait 1 kitab Nagarakrtagama. Di sana
dikatakan bahwa pada tahun 1206 Saka (1284) Raja Krtanagara (dari
Singhasari) berhasil menaklukkan Bali serta menawan raja-raja Bali
(Pigeaud, 1960a : 32 ; 1960b : 48 ; Slametmulyana, 1979, 294). Dalam
sumber itu tidak disebutkan nama atau gelar raja Bali yang ditawan.
Dengan alasan yang kurang jelas, Ginarsa menduga bahwa raja itu adalah
Adidewalancana (1968 : 27). Dugaan itu akan menjadi benar apabila raja
itu memerintah paling sedikit selama 24 tahun setelah menerbitkan
prasastinya yang berangka tahun 1182 Saka (1260).
Kedudukan Kbo Parud sebagai rajapatih
boleh jadi berlangsug sampai setelah Krtanagara dikalahkan oleh Raja
Jayakatwang dari Kadiri, bahkan mungkin sampai pada masa-masa awal
kerajaan Majapahit. Kedudukannya itu tampaknya baru berakhir setelah
Bhatara Guru II (Bhatara Sri Mahaguru) dinobatkan sebagai raja di Bali
pada tahun 1256 Saka (1324), atau beberapa tahun sebelum penobatan itu.
Hal ini sekaligus menyatakan bahwa Bali selama itu berada di bawah
pengawasan kerajaan yang tengah berkuasa di Jawa Timur.
Identifikasi
Raja Bhatara Guru II atau Bhatara Sri Mahaguru sesungguhnya masih
mengandung permasalahan. Ada tiga buah prasasti dikeluarkan oleh raja
itu, tetapi memuat gelarnya secara tidak konsisten. Dalam prasasti Srokadan (1246 Saka)25 baginda disebut Paduka Bhatara Guru yang memerintah bersama-sama dengan cucunya (putunira), yakni Paduka Aji (baca : Haji) Sri Tarunajaya. Dalam prasasti Cempaga C (1246 Saka) disebut dengan gelar Paduka Bhatara Sri Mahaguru (Stein Callenfels, 1926 : 50). Dan dalam prasasti Tumbu
(1247 Saka) disebut Paduka Sri Maharaja, Sri Bhatara Mahaguru,
Dharmmotungga Warmadewa (baca : Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru
Dharmottungga Warmadewa) (Goris, 1965 : 45).
Bhatara
Guru II rupanya mangkat sebelum tahun 1250 Saka (1328). Dugaan itu
dikemukakan karena pada tahun 1250 Saka, sebagaimana tertera dalam prasasti Selumbug
(Stein Callenfels, 1926 : 68-70), yang memerintah di Bali adalah Paduka
Bhatara Sri Walajayakrtaningrat. Raja ini memerintah bersama-sama
dengan atau dibantu oleh ibunya yang bergelar Paduka Tara Sri Mahaguru.
Mengingat kata tara (baca : tara) dapat
berarti ”janda atau duda”, di samping juga berarti ”suami atau istri”
(Damais, 1959 : 690), maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan Paduka Tara Sri Mahaguru kemungkinan besar adalah janda almarhum
Bhatara Guru II.
Selain itu, kiranya dapat disepakati bahwa kata tarunajaya pada hakikatnya bermakna sama dengan walajaya. Kendatipun demikian, masih diperlukan kehati-hatian sebelum menyamakan tokoh Tarunajaya dalam prasasti Srokadan dengan Walajayakrtaningrat dalam prasasti Selumbung.
Kehati-hatian itu diperlukan karena Tarunaja dikatakan sebagai cucuk
sang suami (yaitu Bhatara Guru II) dan Walajayakrtaningrat dikatakan
sebagai putra sang permaisuri (yaitu paduka Tara Sri Mahaguru).
Pernyataan terakhir ini menjadi lebih kuat, jika Bhatara Guru II dan
Paduka Tara Sri Mahaguru pada mulanya memang merupakan pasangan
suami-istri.
Atas
dasar gambaran yang telah disajikan, dengan singkat dapat dikatakan
bahwa bagaimanapun juga hubungan kekeluargaan mereka berdua belum dapat
dijelaskan secara meyakinkan. Sumber-sumber sejarah yang muncul pada
masa-masa mendatang diharapkan dapat menerangkan hal itu.
Dari prasasti Selumbung
yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa Raja Walajayakrtaningrat
beserta ibunya memberikan anugrah prasasti kepada tetua desa Salumbung (karaman ing salumbung). Dalam prasasti itu ditetapkan pelbagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh penduduk bagi bangunan suci Sang Hyang Candri ring Linggabhawana. Penganugerahan prasasti itu disaksikan pula oleh para pejabat tinggi kerajaan.
Raja
Walajayakrttaningrat dan ibunya digantikan oleh Paduka Bhatara Sri
Astasura Ratnabumibanten (baca : Paduka Bhatara Sri Astasura
Ratnabhumibanten). Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan
yang berangka tahun 1259 Saka (Goris, 1954a : 44 ; Damais, 1955 : 99).
Prasasti ini mencatat bahwa pada tahun 1259 Saka raja menetapkan
pelbagai drwyahaji yang mesti dibayar oleh penduduk di wilayah pertapaan Langgaran.
Batas-batas wilayah pertapaan dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan yang
menyaksikan penganugerahan prasasti itu disebutkan pula di dalamnya.
Pada bagian akhir prasasti terdapat sumpah kutukan (sapatha) yang pada intinya mengharapkan agar orang-orang yang melanggar ketetapan dalam prasasti itu mendapat mala petaka setimpal.
Dapat
ditambahkan bahwa di Pura Tegeh Koripan (di puncak Gunung Penulisan)
tersimpan sebuah arca yang bagian belakang arca itu terdapat prasasti
yang terdiri atas sembilan baris tulisan dan keadaannya telah sangat
aus. Pada baris ke delapan terdapat bagian yang berbunyi ”...t (asu) raratnabumi...” (Stutterheim, 1929 : 79). Belakangan, Damais membaca bagian itu sebagai berbunyi ”(--)—stasura ratnabumi banta,...”(1955 : 129) dan Goris membaca astasura-ratna bumi-banten (1954a : 44). Di atas prasasti terdapat candra sangkala berupa empat gambar, yakni paling depan tidak jelas karena sudah pecah, berikutnya gambar mata (dengan nilai 2), puluhannya parasu
(kapak) yang bernilai 5, dan terakhir tidak terang, mungkin gunung
(bernilai 7) atau laut (bernilai 4). Berdasarkan data itu, maka angka
tahun prasasti tersebut mungkin 1254 atau 1257 Saka (Stutterheim, 1929 :
79). Di pihak lain, menurut perhitungan yang diterapkannya, Damais
berpendapat bahwa prasasti itu berangka tahun 1352 Saka (1439) (1955 :
129-130). Jika arca tempat prasasti itu berangka tahun 1352 Saka (1430)
(1955 : 129-130). Jika arca tempat prasasti itu ditulis adalah arca
perwujudan Astasura Ratnabhumibanten, yang dibuat sekitar upacara sraddha-nya, maka pendapat Damais lebih beralasan.
Enam tahun setelah Astasura Ratnabhumibanten mengeluarkan prasasti Langgahan
(1259 Saka), yakni pada tahun 1265 Saka (1343) ekspedisi tentara
Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada menyerang Bali. Penyerangan itu
berhasil menaklukkan Bali. Goris menyatakan bahwa dengan takluknya Bali
kepada Majapahit maka berakhirlah kerajaan Bali Kuno yang merdeka (1965 :
47).
Kontak
perang antara Bali dan Majapahit agaknya didahului dengan suasana tidak
harmonis. Betapa tidak senangnya pihak Majapahit terhadap raja Bali
dapat diketahui dari hasil goresan pena Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakrtagama. Pupuh 49 bait 4 kitab itu menggambarkan sebagai berikut :
”muwah rin sakabdesu masaksi nabhbhi,
Ikan bali nathanya dussila niccha
Dinon in bala bhrasta sakweh nasa
Ars salwir i dusta mandoh wisathta,”
(Pigeaud, 1960a : 36).
Artinya :
”Selanjutnya
pada tahun Saka panah-musim-mata-pusat (1265 Saka), kepada raja Bali
yang rendah budi dan hina dina dikirimlah tentara untuk membasmi,
hancurlah semuanya, ketakutan semua penjahat (lalu) lari menjauh (cf. Slametmulyana, 1979 : 297 ; Pigeaud, 1960c : 54).
KERAJAAN BALI AGA DAN MOJOPAHIT
Kerajaan
Bali Aga di Jaman pemerintahan SRI RATNA BUMI BANTEN, yang memerintah
ditahun 143 Masehi dibedahulu terkenal dengan Raja Bedhahulu, Beliau
masih keturunan Raja Daha.
Sri
Asura Ratna Bumi Banten tidak mau tunduk dengan kerajaan Mojopahit
dimana pada waktu kerajaan Mojopahit dipimpin oleh seorang Raja Putri
bernama Tri Buwana Tungga Dewi dengan patih utamanya Aditya Warman
bergelar Arya Damar dan ditemani Patih Gajah Mada.
Karena
keberaniannya beliau menentang kehendak Mojopahit itu menyebabkan Gajah
Mada tak berani gegabah menghadapi Raja Bali ini. Disamping itu Gajah
Mada telah mendengar bahwa diBali banyak terdapat tokoh – tokoh sakti
dan amat tangguh yang menjadi tulang punggung kekuatan kerajaan Sri
Asura Ratna Bumi Banten itu.
Tokoh – tokoh yang paling ditakuti oleh Gajah Mada adalah :
Ki
Kebo Iwa, Ki Pasung Grigis : yang menjabat sebagai mangku bumi kerajaan
Bali Aga, memang kesaktian para tokoh tersebut sudah sangat tersohor
kepelosok negri, belum lagi beliau didukung oleh sederetan orang – orang
sakti seperti :
Ki Tunjung Biru, Tunjung Tutur dan tokoh lainnya.
Olehkarena
keperkasaan beliau inilah menyebabkan ki Patih Gajah Mada berpikir
berat mencari siasat bagaimana caranya untuk menundukan Bali Aga menjadi
dibawah kekuasaan kerajaan Mojopahit.
SUDAH
BERAPA KALI DIADAKANRAPAT PIMPINAN DIDALAM KERAJAAN KHUSUS MEMBAHAS
TENTANG Bali Aga, tetap belum ada yang dapat memecahkan permasalahan
yang memang sangat rumit ini.
Tidak
sedikit yang telah disumbangkan oleh para panglima perang dan ahli
politik Majapahit itu guna bias menundukan bali Aga, tetap saja belum
dapat terpecahkan, karena bukan sembarang musuh yang dihadapinya. Mereka
serba sempurna dalam tata pemerintahan, angkatan perang, kekuatan
prajurit yang tak terhitung disamping kesiapan Kerajaan Bali Aga dalam
keadaan siap perang. Kalau ada gangguan musuh dari luar Bali.